Sabtu, 12 November 2011

WAWASAN Al-QUR’AN TENTANG DISTRIBUSI HARTA DALAM BENTUK ZAKAT



Harta Dalam Pandangan Islam

            Islam Memandang bahwa kemunduran umat Islam bukan hanya terletak pada kejahilan terhadap kajian-kajian syaria’at Islam saja, tetapi juga terletak pada ketimpangan struktur ekonomi dan social. Ini dilukiskan oleh al-Qur’an ketika menjelaskan kemiskinan yang disebabkan oleh adanya usaha bersama untuk membantu kelompok yang lemah, adanya kelompok yang memakan kekayaan alam dengan rakus dan mencintai kekayaan tersebut dengan berlebihan dan menempatnya diatas kecintaan yang lain.   
            Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci ini menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan  dan pengembangan ilmu-ilmu keIslaman, tetapi juga menjadi inspirator, pamandu-pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad ke belakang. Oleh karena itu, pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran para musafir.

Harta atau kekayaan yang dimaksud dalam makalah ini adalah terjemahan dari kata al-mal. Dalam al-Munjid kata al-mal (dalam bentuk jamaknya, al-amwal ) diartikan sebagai : “segala sesuatu yang kamu miliki ( ma malaktahu min jami’ al-syya’)”. Orang Arab perkampungan biasa memakai kata ini untuk menunjukan binatang ternak atau binatang kendaraan. Dalam kitab al-Mu’jam al-Wasith harta dimaknai : “ segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berupa kakayaan, atau barang dagangan, rumah, uang, hewan atau lainnya. Sementara itu Elias A. mengartikan dengan rizq (Property; estate), Badla’I’ (commodities, goods, wares), dan Nuqud (Money). Dengan ini kayaknya kita sepakat kalau al-mal itu diartikan dengan harta benda atau kekayaan.   
Kata al-mal dalam al-Qur’an disebut tidak kurang dari 86 kali dalam dua bentuk. Pertama ; al-mal disebut dalam bentuk yang tidak disandarkan kepada kata ganti ( Ghair Mudhaf Ila Dhomir ) seperti al-mal, malan, al-amwal, dan amwalan yang disebut sebanyak 32 kali. Kedua ; al-mal disebut dalam bentuk yang disandarkan kepada kata ganti. Seperti Maluhu, Maliyah, amwalukum, dan  amwaluhum yang disebut sebanyak 54 kali. Dengan penyebutan al-mal sebanyak 86 kali,  menunjukan bahwa al-mal ditempatkan pada kedudukan posisi yang sangat penting dalam al-Qur’an.
Kata Hassan Hanafi, bahwa dua bentuk al-mal yang disebutkan diatas, menunjukan bahwa harta,  pertama ; sebagai wujud tersendiri yang terlepas dari kegiatan manusia, ia tidak dinisbatkan kepada seseorang atau kelompok. Kedua ; al-mal diposisikan dalam kegiatan manusia dalam bentuk usaha, investasi dan lain-lain. Al-Qur’an lebih sering menyebutnya dalam bentuk di-Ihdafat-kan. Ini menunjukan bahwa al-mal yang berada dalam kegiatan manusia merupkan tema utama (Mihwar) daripada pandangan al-Qur’an tentang harta itu sendiri dalam bentuk jinisnya.

Beberapa Pandangan Al-Qur’an Tentang Distribusi Harta

            Dari sekian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang secara tersurat menyatakan kata al-mal, kiranya kita dapat menarik beberapa benang merah yang dapat kita nilai sebagai pandangan al-Qur’an yang harus mendasari segenap aktivitas pendistribusian harta. Pandangan itu antara lain :

Harta adalah milik Allah ( al-mal mal Allah)
Dalam al-Qur’an hanya sekali kata al-mal yang secara tegas dinisbatkan kepada Allah (mal Allah), yaitu Surat al-Nur ayat 33 :
Artinya : …Berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu… (Q.S. An-Nur : 24 ; 33)
                        At-Thabathaba’I dalam tafsirnya al-Mizan-nya mengartikan mal Allah dalam ayat tersebut dengan harta zakat. Wahbah Zahaili dalam tafsir al-Minir-nya juga mengartikan demikian. Al-Zzamakhsyari mengartikannya dengan harta yang diambil dari bayt al-mal.
                        Tentu saja bukan hanya al-mal yang disebut dalam ayat itu saja yang merupakan milik Allah. Sebab semua harta, bahkan alam raya beserta isinya, hakikatnya adalah milik Allah. Penegasan ini sebenarnya tidak hanya didasarkan kepada ayat diatas saja. Bahkan ia lebih didasarkan kepada seluruh pesan al-Qur’an yang berkenaan dengan harta.
                        Pandangan bahwa harta adalah milik Allah akan melahirkan sejumlah prinsip yang secara langsung ada kaitannya dengan pemanfaatan kekayaan dan semangat sosialisme. Prinsip-prinsip itu antara lain :
Benda-benda ekonomi adalah harta kekayaan milik Allah yang kemudian dititipkan kepada manusia yang dijadikannya menjadi amanat yang harus dijaga. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-anfaal ayat 28:
            Artinya : Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya harta dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi-sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S. Al-Anfaal ; 8 : 28).
Penerima Amanat harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan “kemauan” sang pemberi amanat (Allah), yaitu hendaknya diinfakan menurut jalan Allah. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 95 :
            Artinya : Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar. (Q.S. An-Nisa ; 4 : 95).
Harta yang halal itu setiap tahun harus dibersihkan dengan zakat. Firman Allah dalam Surat AL-Lail ayat 18 :
Artinya : Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. (Q.S. Al-Lail ; 92 : 18)
Penerima amanat harta tidak boleh menggunakan harta semaunya dan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan harus dengan timbang rasa supaya tidak menyinggung rasa keadilan umum, tidak kikir dan juga tidak boros. Firman Allah dalam Surat al-Furqon ayat 67 :
            Artinya : Dan apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Q.S. Al-Furqon, 25 : 67).
Orang-orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam hartanya orang-orang kaya. Surat Ad-Dzaryiat ayat 19 :
Artinya : Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian. (Q.S. Ad-Dzariyat, 51 : 19)
Kejahatan tertinggi terhadap kemanusian ialah menumpukan kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi social. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Humazah ayat 2-3 :
Artinya : Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya (2), dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. (Q.S. Al-Humazah, 103 : 2-3).
Manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum mendistribusikan harta yang dicintainya. Keterangan ini terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 92 :
            Artinya : Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah menhetahuinya. (Q.S. Ali Imran, 3 : 92)
             
Perintah Menyangkut Distribusi Kekayaan

Perintah Al-Qur’an yang menyangkut tentang pendistribusian harta diantaranya adalah mengeluarkan Zakat. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 103 :
Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka, sesungguhnya do’a kamu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Q.S. AtTaubah, 9 : 103).

Ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (102). Ia bercerita tentang seorang sahabat yang bernama Abu Lubabah dan beberapa rekannya yang tidak ikut dalam Perang Tabuk dan memilih tinggal bersama keluarga mereka. Namun mereka sadar dengan dosanya, hingga mengikat diri pada tiang mesjid dengan tidak mau dilepasnya kecuali oleh Rasul SAW. Dalam pengakuannya, mereka tidak berperang, karena cintanya terhadap harta mereka. Oleh karena itu, Nabi SAW mengambil sebagian harta mereka untuk dibagikan kepada yang hak menerimanya sebagai upaya membersikan diri mereka.
Walau ayat ini dalam konteks uraian tentang Abu Lubabah dan kawan-kawannya, namun ayat ini dalam khitoh, penafsiran dan pemaknaannya berlaku untuk umum. Makanya, ketika orang-orang yang pada masa Khalifah Abu Bakar r.a membangkang perintahnya dan enggan untuk membayar zakat, beliau memerangi para pembangkang tersebut.
Kewajiban menunaikan zakat kepada segmen masyarakat tertentu, bukanlah berupa perilaku kemurahan hati para penunai, melainkan merupakan keharusan yang setaraf dengan hutang yang harus dipenuhi dan dibayar.
Zakat merupakan salah satu kiat Islam dalam rangka meraih cita-cita sosialnya. Ia juga menegaskan bahwa dalam harta milik pribadi terdapat hak-hak mereka yang berhak untuk menerimanya. Kiat ini ditempuh oleh Islam sambil melarang beberapa praktek transaksi yang menggangu keserasian hubungan antara anggota masyarakat. Adapun signifikasi zakat yang paling menonjol, didasarkan atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut :
Zakat merupakan cerminan falsafah Islam tentang harta. Ini, mengingat bahwa hakikatnya harta itu adalah milik Allah, dan manusia hanya penerima amanat yang diperbolehkan hanya dalam pendayagunaan dan pemanfaatannya saja.
Zakat merupakan institusi Islam tentang keharusan terwujudnya keadilan social, yaitu dengan cara distribusi harta dari kaum kaya kepada Fakir miskin dan pihak-pihak lain yang membutuhkan.
Zakat juga merupakan sarana pendidikan hati bagi kaum muslilmin untuk ikut menangung beban dan derita sesamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar