Kamis, 24 November 2011

Tiga Komponen Kritis Hermeneutik





Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari.
Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya.
Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa.
Memang sebuah intrepretasi akan sarat dengan muatan tafsir, sengaja atau tidak sengaja, yang menjadi persoalan dengan tafsir bahasa adalah pencarian hakekat kata-kata yang tersurat dan tersirat. Karena hakekatnya adalah mencari kebenaran, dimensi filosofis tafsir sangat dibutuhkan. Namun, karena hakekat filsafat itu sendiri adalah keseluruhan interpretasi dan tafsir, antara filsafat dan hermeneutik tidak terlalu jauh dipersoalkan.
Dalam bidang hermeneutik ini hingga sekarang terdapat dua pendekatan yang bersumber dari dua aliran yang berbeda. Pertama apa yang kita kenal aliran hermeneutik yang bersumber pada linguistik.
Tradisi ini dipelopori oleh karya revolusioner Ferdinand de Sausure yang dipengaruhi oleh kajian-kajian formal sarjana Rusia dan Cekoslowakia, dan memiliki gaung yang simpatik dalam karya Noam Comsky. Pendekatan ini biasanya tidak disebut sebagai ”hermeneutik”, melainkan ”strukturalisme”. Pendekatan kedua berakar dari tradisi Hegel dan Marx, Fenomenologi, dan kajian linguistik sebagaimana yang dipakai pendekatan pertama.
Dua aliran di atas ini banyak diamati oleh para pakar filsafat-hermeneutik sebagai kajian memungkinkan terbukannya metode-metode baru dalam menafsirkan bidang-bidang yang kini terus bermunculan dalam bentuk spesialisasi ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, jika pembaca ingin menaruh kajian hermeneutik yang baru, buku ini layak disebut sebagai kecenderungan membuka metode penafsiran baru tersebut. Lain dengan kedua metode di atas, buku yang ditulis oleh Roy J. Howard ini berhasil melebarkan teori hermeneutik sebagai bagian dari filsafat gaya baru.
Ada tiga hal yang ditemukan oleh pemikir postmodernis ini. Pertama adalah ”hermeneutik analitis”. Penambahan kata ”analitis” dalam ”hermeneutik” di sini dimaksudkan agar hermeneutika bukan hanya menafsir teks-teks dalam batas kategori pemaknaan filosofis-historis seperti yang biasa dilakukan para pemikir linguistik. Howard di sini menambahkan bahwa pendekatan logika intersubjektif, atau lebih dikenal dengan istilah logika intensi atau juga memakai pendekatan silogisme praktis dan peran eksplorasinya (hal 60).
Kedua, penulis memperkenalkan istilah ”hermeneutika psikososial”. Teori ini berangkat dari penolakan atas kecenderungan hermeneutika mono—metodelogi baik dari positivisme maupun Marxisme Klasik yang sering menyajikan spekluasi Marxisme yang telah berkembang dan cukup mengabungkan beberapa prinsip metodelogi dari pemahaman simbol karya Freud (hal 12) dengan melakukan eksplorasi atas filsafat kritis mazhab Frankfrut (Jurgen Habermas), Howard mencoba memberikan satu premis-premis dasar bagaimana memahami bahasa dalam konteks psikososial masyarakat modern. Dan, ketiga, Howard menyuguhkan satu teori baru hasil pengembangan teori Gadamer. Teori Gadamer yang sebelumnya kritis dalam mengkritik filsafat hermeneutik perspektif humaniora dengan jalan ontologisnya dipilih Howard sebagai pijakan dalam menganalisis bahasa. Dalam bagian ini, pembaca akan disuguhkan bagaimana sebenarnya teori permainan bahasa Gadamer yang sebenarnya cukup kritis untuk menelaah kondisi ruang dan waktu dalam kehidupan manusia.
Dalam konteks pelebaran metodelogi inilah, perkembangan selanjutnya hermeneutik ternyata sangat dibutuhkan para pemikir bukan hanya dalam bidang sastra dan bahasa semata, melainkan juga melebar pada studi bidang lain, misalnya humaniora, sains, sejarah, agama (kitab suci), dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena hampir semua bidang keilmuan tersebut dapat dipastikan berhubungan dengan teks-teks bahasa. Buku ini tidak mengklaim diri sebagai laporan studi yang mendalam dan tidak pula menampilkan semua bentuk paparan hermeneutika mutakhir. Namun dengan perhatian terhadap tiga komponen hermeneutik tersebut, buku ini layak disebut sebagai satu penelaahan baru atas pemetaan metodelogi hermeneutik model postmodernisme yang kini sedang berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar