Rabu, 16 November 2011

Etika Global untuk Masyarakat Global



Fenomena tersebut tidak melulu dalam pengertian ekonomi. Globalisasi juga berdimensi politik, teknologi, budaya dan keagamaan. Akan sangat keliru, jika menganggap globalisasi hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar, seperti tatanan perekonomian dunia. Globalisasi bukan soal apa yang ada "di luar sana", terpisah langsung, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Ia juga merupakan fenomena "di sini", yang langsung mempengaruhi sistem kepercayaan dan kehidupan kita.
Dengan kian merebak dan canggihnya teknologi media, memungkinkan sebuah masyarakat menyaksikan bentuk-bentuk kehidupan dan sistem kepercayaan lain yang berbeda. Sebuah masyarakat juga menyaksikan masyarakat lain dalam macam-macam gaya hidup, orientasi keagamaan yang berlainan, ragam etnis-suku bangsa, perbedaan bahasa dan sebagainya. Bahkan, bukan itu saja, globalisasi seperti yang diungkapkan Anthony Giddens juga merupakan efek jarak jauh (time-space distanciation). Maksudnya, apa yang terjadi pada satu belahan bumi, bisa terjadi efek pada belahan bumi yang lain. Misalnya, teror bom di Bali dengan serta merta mempengaruhi dunia kehidupan masyarakat di belahan bumi lainnya. Pada intinya, kehidupan masyarakat global saat ini dihadapkan pada pluralitas kebudayaan yang saling mempengaruhi, yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Saling pengaruh di antara ragam kebudayaan, jika tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan konflik yang hebat, berkepanjangan dan susah dihentikan. Seperti yang disinyalir oleh Samuel Huntington, garis-garis batas dalam dunia mutakhir (dunia era pasca-Perang Dingin) tidak berasal dari politik atau ideologi, melainkan kebudayaan. Dalam karyanya yang kontroversial ‘The Clash of Civilization" (1993), Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama, bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban.
Tatkala perjumpaan peradaban satu dengan yang lainnya, melalui globalisasi, tidak berkembang secara adil, dan tidak ada saluran komunikasi, maka benih-benih permusuhan kian menggumpal dan siap meledak. Buat kebanyakan orang yang tinggal di luar Eropa dan Amerika Utara, globalisasi terkesan tidak menyenangkan, seperti Westernisasi atau mungkin Amerikanisasi. Ketika muncul peradaban yang dominan dan dirasakan menindas oleh peradaban yang lain, kemungkinan terjadi "benturan peradaban" (Clash of Civilization) saat mungkin.
Namun, konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang sama bisa terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka masing-masing. Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan merupakan alasan yang tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan konflik di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada intinya sebenarnya kedua agama itu samapunya tradisi dan akar sejarah yang sama: semitik.
Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State (1995), Ohmae berpendapat bahwa perang biasanya terjadi ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian latenbukan ketika antar peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Seakan menyanggah tesis Huntington, Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang kolot yang melibatkan rakyat untuk melakukan konfrontasi bersenjata.
PERSOALANNYA adalah, bagaimana memikirkan kelangsungan kehidupan masyarakat global saat ini dan di masa depan? Bukahkah intensitas konflik-konflik dalam masyarakat global kian meningkat, sangat rawan dan terkesan tak terkendali. Bukankah kehidupan masyarakat global kian tercabik-cabik dengan begitu sering konflik-konflik di antara mereka. Apa yang memungkinkan kohesi sosial (nilai-nilai pengikat) dalam masyarakat global, yang di dalamnya terdapat beraneka ragam pluralitas, bisa diupayakan?
Seiring dengan peralihan dari masyarakat tradisional yang relatif homogen ke masyarakat global yang pluralistik, terjadilah krisis legitimasi yang luar biasa di dalam masyarakat global tersebut. Krisis legitimasi dalam pengertian bahwa tatanan legitim masyarakat tradisional sebuah tatanan masyarakat yang didasarkan pada sebuah sistem kepercayaan atau agama mulai kehilangan validitasnya.
Akan muncul tendensi perlawanan jika sebuah masyarakat coba diatur dengan dan oleh aturan masyarakat lain. Akan lebih kacau lagi jika setiap kelompok masyarakat memaksakan sistem kepercayaannya sebagai yang "paling benar" untuk mengatur masyarakat dunia.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah visi besar untuk mengawal perkembangan masyarakat global saat ini dan di masa depan. Seorang teolog besar abad ini, Hans Kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global. Dalam karyanya yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and Economics (1997), Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun terdapat perbedaan dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non-beriman (ateis).
Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar etika fundamental (nilai-nilai universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada beberapa tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. .
Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang dipikirkan sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial (FB Hardiman: 2002). Karena kebenaran yang sifatnya subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini.
Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui dialog yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan.
Namun, harus juga disadari bahwa etika global ini bukanlah obat mujarab yang langsung memberikan solusi bagi persoalan dunia. Setidaknya, etika global memberi tuntutan dan dasar moral bagi individu maupun tatanan global yang lebih baik. Hans Kung juga tidak naif, bahwa tuntutan etika global ini bukan main sulitnya untuk mahkluk rasional sekalipun. Tetapi, menurut dia, harus ada tuntutan semacam itu dalam dialog yang riil dalam masyarakat global. Kalau tidak, dialog akan jatuh pada perspektif etnosentris, entah agama, ras, bangsa, dan kelompok-kelompok kepentingan. Jadi, etika global dalam masyarakat global merupakan keniscayaan. 
Eko Wijayanto, Peneliti di Paramadina, dan Koordinator Program Studi Islam Paramadina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar