Sabtu, 12 November 2011

Dari Korban Menjadi Pelaku Globalisasi



PERKENANKAN saya mengawali naskah dengan sebuah kutipan panjang. "Kebutuhan untuk secara terus-menerus memperluas pasar bagi produknya menyebabkan bergeraknya kaum borjuasi di seluruh muka bumi ini. Mereka harus menetaskan di mana saja, menetap di mana saja, dan menciptakan jaringan di mana saja. Kaum borjuasi melalui eksploitasinya di pasar dunia memberikan karakter kosmopolitan pada produksi dan konsumsi di setiap negara... ketika sebelumnya yang ada berhubungan dengan kebutuhan lama, yang cukup bisa dipenuhi dengan produksi sebuah negara, kini kita menemukan kebutuhan-kebutuhan baru, yang mensyaratkan untuk memenuhinya berupa produk dari tempat-tempat yang jauh. Bila sebelumnya kita bisa memenuhi kebutuhan di dalam lingkungan terbatas yang bersifat lokal dan nasional serta swasembada, kita menghadapi intensitas berhubungan di segala jurusan, suatu ketergantungan satu sama lain di antara negara-negara yang berlangsung secara universal."Kutipan panjang ini berasal dari The Communist Manifesto, yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels, terbit pada tahun 1848 dan dikutip oleh duet penulis A Future Perfect, John Micklethwait dan Adrian Wooldridge.
Kedua penulis itu mengutip pandangan Marx dan Engels justru dalam konteks argumentasi tentang keniscayaan globalisasi. Menurut mereka, nabi sosialisme tersebut sesungguhnya telah meramalkan globalisasi ekonomi yang tak tercegahkan dan punya dampak luas sekali, yang tak sepenuhnya dapat dihadapi oleh negara-negara yang tidak siap untuk itu.
Mereka berpendapat, ada paradoks dari globalisasi berupa kuatnya dan tak tertahankannya proses globalisasi di satu pihak, dan di pihak lain adanya kerawanan (fragility). Menurut mereka, paradoks inilah yang menjadi tantangan terbesar dalam abad baru ini.
Kutipan tersebut agaknya juga dapat kita kaitkan dalam konteks Indonesia sekarang. Betapa tidak. Krisis ekonomi yang kini sudah berlangsung hampir empat tahun tetap tidak terselesaikan, meski Indonesia telah tiga kali berganti presiden dalam waktu kurang dari empat tahun.
Kita bisa menyebut kurs rupiah yang masih "hancur", indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta yang terus meluncur ke bawah, nilai tukar petani yang tetap buruk, bahaya inflasi yang kini menganga di depan mata, yang keseluruhannya disandarkan pada utang negara dan swasta yang fantastik jumlahnya. Semuanya itu menyebabkan banyak kalangan menilai bahwa kolapsnya perekonomian Indonesia tinggal dalam hitungan bulan saja.
***
DALAM buku The Cash Nexus, Niall Ferguson mencoba menjelaskan hubungan antara uang dan kekuasaan dalam 300 tahun terakhir (dari tahun 1700 hingga 2000). Guru besar Universitas Oxford tersebut mengungkapkan tesis yang patut disimak. Dalam bukunya itu dia menekankan empat kelembagaan sebagai dasar bagi kekuatan finansial. Keempat institusi tersebut adalah birokrasi yang memungut pajak, parlemen yang representatif, utang nasional, dan bank sentral. Inilah yang disebutnya sebagai the square of power.
Niall Ferguson mencoba menjelaskan betapa birokrasi yang memungut pajak, parlemen atau lembaga demokrasi, utang nasional, dan bank sentral, terkait satu sama lain, dan bila lembaga-lembaga tersebut kurang berfungsi secara baik, maka akan diperoleh masalah yang cukup serius dari sisi bagaimana suatu sistem demokrasi berlaku.
Dia membuat perumpamaan yang menarik di bagian akhir ketika mengutip ucapan Josef Stalin yang mempertanyakan Paus, "Dia punya berapa divisi tentara?"
Dalam kita melihat apa yang disebut power atau kekuasaan itu, terjadi ironi betapa benarnya Stalin di tahun 1940-an ketika kekuasaan spiritual Paus menjadi sama sekali tidak berdaya menghadapi negara-negara yang sedang bertempur dalam Perang Dunia II. Saat itu ada 12 juta Tentara Merah yang merupakan seperlima dari seluruh angkatan kerja Uni Soviet. Tetapi, dalam mencoba mendefinisikan power atau kekuasaan itu, tidak sampai 50 tahun kemudian ketika Paus Paulus II mengunjungi Polandia, tampak betapa dia memiliki kekuasaan dalam kondisi dan situasi yang tepat, sebagai hal yang lebih superior dari Tentara Merah. Apa yang terjadi di Polandia dalam tahun 1980-an menunjukkan betapa kekuasaan Paus lebih bertahan daripada pengganti Stalin. Dan ini ditunjukkan dengan kolapsnya kekuasaan komunis di Polandia pada tahun 1979.
Memang kita sekarang pantas mempertanyakan apakah kekuasaan itu? Bagaimana kita melihat akumulasi konflik yang terjadi, entah itu vertikal ataupun horizontal, berhubungan dengan kekuasaan itu sendiri.
Kembali saya merasa perlu mengutip buku menarik dari Niall Ferguson yang menyatakan, bahwa legitimasi negara di mata warga negaranya bukanlah ditentukan oleh tingkat pajak penghasilan, nilai tukar ataupun suku bunga maupun inflasi, ataupun pembagian jatah mentega. Dia nyatakan bahwa betapapun efisien sebuah sistem perpajakan, betapapun representatifnya parlemen, selikuid apa pun pasar obligasi, pada akhirnya legitimasi negara justru akan muncul dari hal-hal yang intangible seperti tradisi (ingatan tentang keberhasilan masa lampau), kharisma (appeal dari para pemimpinnya), popular believe atau keyakinan populer (keyakinan tentang prospek masa depan, material maupun spiritual). Pendek kata, tidaklah benar pendapat bahwa semua hubungan manusia akan menjadi hubungan ekonomi atau homo economicus semata-mata.
Sekarang, ketika kita melihat betul-betul sangat suramnya kondisi ekonomi dan politik bangsa ini, kita amat mudah untuk tenggelam dalam lautan keputusasaan, sarkasme, serta radikalisme yang bersifat destruktif. Namun, kalau kita mau meneliti apa yang merupakan Indonesia seperti yang pernah kita ingat, maka sesungguhnya masih amat banyak faktor integrasi dan hal-hal positif yang bisa menjadi acuan kita untuk menatap masa depan.
Memang, dalam era globalisasi telah terjadi fragmentasi dari negara-negara yang memiliki kawula yang multietnis. Hal tersebut berlangsung di mana-mana, dan di Indonesia pun sekarang dengan peristiwa Kalimantan Tengah dan daerah-daerah lainnya, banyak sekali kalangan yang memprediksi akan kehancuran bangsa ini akibat konflik etnis yang berkepanjangan.
Selain konflik etnis, Indonesia juga mengalami konflik agama yang telah dan masih berlangsung di Maluku, dan juga ada potensi yang begitu besar di daerah-daerah lain. Sementara itu potensi konflik antara warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dengan mereka yang disebut "asli" tetap bisa mengancam kita, kendati kita telah melalui peristiwa gelap yang dikenang sebagai Peristiwa Mei 1998.
Belum cukup dengan itu, konflik antara golongan masyarakat pun kini berada di depan mata. Bila satu juta pengungsi yang terus-menerus menjadi saksi sakitnya hidup di dalam era reformasi ini nantinya dihadapkan dengan pengendara mobil Ferrari senilai Rp 5 milyar, apa yang akan terjadi? Bila ketidakadilan berlangsung terus-menerus dan diperparah dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka memang kita mengalami kondisi yang amat mengkhawatirkan, dan indikator yang dikemukakan Niall Ferguson seperti sistem perpajakan, berlangsungnya obligasi pemerintah di pasar sekunder, gonjang-ganjingnya dollar, semuanya membuat kita makin tenggelam tanpa bisa timbul kembali.
Kalau kita lihat birokrasi kita sekarang, memang sulit bagi kita untuk bersikap optimistis. Bagaimana birokrasi yang ada sekarang dapat menjadi institusi yang memajaki warga negara bila birokrasi itu sendiri tidak memiliki respek yang dibutuhkan. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan akan menindak orang-orang yang tidak membayar pajak atau menipu dalam membayar pajak, maka ucapan itu tidaklah memiliki basis moral sama sekali. Kita tahu bahwa Abdurrahman Wahid sendiri baru memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) setelah menjadi presiden. Begitu juga dengan para anggota parlemen yang "galak" itu, yang ternyata juga beratus-ratus di antaranya sampai tiga bulan yang lalu tidak memiliki NPWP.
Kita di sini melihat apa yang disebut motto revolusi AS (no taxation without representation) amat berlaku, dan karena itu kita memerlukan parlemen yang bersih dari dugaan tidak membayar pajak. Dengan kata lain, kini dibutuhkan transformasi besar-besaran di dalam birokrasi, parlemen, dan bank sentral, dalam upaya melaksanakan pembayaran utang-utang yang sudah amat besarnya. Betapapun besarnya utang kita, bukanlah berarti kita tidak sanggup membayar bunganya, sean-dai-nya persyaratan kelembagaan kita selesaikan secepatnya. Kita membutuhkan birokrasi yang kredibel di mata rakyat. Kita membutuhkan parlemen yang representatif dari sisi penglihatan pembayar pajak, dan kita membutuhkan bank sentral yang bersih, hal yang sampai kini begitu galau bercampur dengan ide bank sentral yang independen. Apa pun yang hendak dikatakan tentang Bank Indonesia yang hendak diintervensi presiden, jelas ada masalah dalam hal apakah bank sentral sekarang bersih atau tidak.
***
KALAU kita kembali melihat kondisi politik nasional, memang ada semacam "agenda konstitusional", di mana akhir bulan ini akan ada memorandum II (most likely scenario). Selanjutnya sampai akhir bulan Mei kita juga bisa memperkirakan manuver politik yang bentuknya adalah demonstrasi, pembicaraan kompromi politik, pembocoran dokumen-dokumen, kemungkinan pergantian menteri, serta penajaman konflik vertikal dan horizontal.
Setelah munculnya memorandum II itu, maka presiden hanya punya waktu satu bulan untuk kemudian-bila jawabannya tidak memuaskan parlemen-maka Sidang Istimewa MPR pun sesuai dengan "agenda konstitusional" dapat ditetapkan tanggalnya.
Saya bisa memperkirakan bahwa ongkos politik dan ekonomi untuk proses "agenda konstitusional" ini akan amat berat ditanggung, terlepas dari apakah "pencairan dana IMF" terjadi atau tidak terjadi.
Globalisasi bukanlah sekadar pinjaman dari IMF yang cair. Globalisasi adalah persepsi kalangan penilai country risk, apakah itu Standard & Poor's ataupun Moody's, dan tentang Indonesia semuanya agaknya beranggapan bahwa mengenai investasi di Indonesia, sikap yang terbaik adalah menunggu, entah hingga kapan.
Kita melihat bahwa para elite politik lupa bahwa seluruh kehancuran perekonomian kita yang kemudian menimbulkan juga proses politik yang kita kenal hingga sekarang, merupakan konsekuensi logis dari nasib Indonesia sebagai korban globalisasi.
Indonesia dengan bahasa sederhana telah di-write off. Konsekuensinya, kita memperoleh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang disebut sebagai fundamental, penjelasan teoretis, maupun penuturan metodologis. Nilai tukar itu juga menunjukkan betapa sebagai korban globalisasi, Indonesia untuk masa yang cukup lama tidak bisa mengangkat nilai tukar tersebut. Hal ini bisa terjadi karena memang dollar dipegang oleh semua pelaku pasar (dollar hold), sementara kebutuhan akan dollar sebagai konsekuensi logis dari keharusan membayar utang pemerintah dan swasta, masih tetap akan tinggi sampai bertahun-tahun mendatang.
Ini menyebabkan lahirnya kondisi di mana globalisasi belum bisa kita lihat sebagai bagian atau proses yang wajar dari Indonesia sebagai pelaku globalisasi. Bisakah kita mentransformasikan diri dari korban menjadi pelaku globalisasi? Jawabannya terletak pada kemampuan kita mentransformasi sistem politik, sistem ekonomi, lembaga perbankan, termasuk bank sentral yang independen dan bersih, serta-yang terpenting-sikap jiwa bangsa kita untuk mengatasi potensi konflik etnis, agama, ras, dan perbedaan kekayaan di antara rakyat kita sendiri.
Kalau kita melihat kondisi sekarang, apakah mungkin bagi kita untuk melakukan transformasi tersebut? Saya melihat ada tiga alasan untuk tetap optimistis bahwa transformasi yang dibutuhkan untuk mengubah posisi Indonesia dari korban menjadi pelaku globalisasi tetap terbuka lebar.
Pertama, tatanan kelembagaan dalam proses globalisasi dari sisi lembaga ekonomi, sebetulnya sudah established. Adanya pasar modal, adanya pasar uang (exchange rate), berlangsungnya hubungan finansial yang intens di antara berbagai jaringan usaha dalam negeri, luar negeri maupun campuran (joint venture), adalah modal yang berharga, betapapun buruknya hal itu tampak sekarang. Saya kira dalam kondisi yang sehancur sekarang pun, orang tidak membuat suatu skenario di mana Indonesia terputus secara jaringan dengan dunia internasional karena memang semua kalangan pun punya stake bagi eksistensi Indonesia.
Kedua, faktor integrasi di dalam kehidupan politik bangsa ini masih cukup kuat, yang tampak pada berbagai macam kegiatan sosial, politik, bahkan keagamaan yang tetap menunjukkan tanda-tanda bahwa proses kegiatan sosial yang bersifat lintas agama, lintas suku bangsa dan etnisitas, serta lintas ras, tetap berlangsung. Masih cukup banyak anggota masyarakat Indonesia yang berbicara tentang ataupun bekerja mengenai hal di mana interaksi bersama-sama tidaklah memandang asal etnis, agama, dan ras.
Yang ketiga, dari sisi global, banyak negara (nation state) tetap berkepentingan mempertahankan kesatuan Indonesia, ketimbang membiarkan munculnya multinegara bila Indonesia terpecah belah, terutama negara seperti Singapura, AS, bahkan juga RRC. Mereka saat ini tidaklah sekadar berdiam diri dan membiarkan konflik-konflik itu sampai menimbulkan berdirinya negara-negara baru. Saya sepenuhnya menyadari peristiwa di Aceh dan Papua, dan kita tidak perlu "membeli" pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengatakan Indonesia akan hancur tanpa dia (yang mengingatkan kita pada pemeo "negara adalah saya"), untuk beranggapan bahwa memang menjadi kepentingan begitu banyak negara untuk mempertahankan negara kesatuan RI.
Jadi, masih adanya lembaga-lembaga ekonomi, kuatnya proses integrasi yang masih menimbulkan aktivitas lintas agama, etnis, serta kekhawatiran ataupun penolakan dari negara-negara lain di dunia tentang Indonesia yang terpecah belah, merupakan hal yang cukup bagi kita untuk tetap percaya pada masa depan Indonesia. Syaratnya hanya satu, duduknya pemimpin yang bersih pada level pemerintahan dan parlemen, serta tegakkan hukum melalui transformasi yang substantif, hal yang merupakan tanggung jawab kita bersama dalam tahun ini dan tahun-tahun mendatang.
Kita akan melihat bahwa dengan sikap yang demikian, kita tidak perlu terpaku pada "agenda konstitusional" yang tidak lebih merupakan proses politik yang tidak lucu dan menguras uang serta tenaga. Biarkan saja kalangan-kalangan yang melaksanakan "agenda konstitusional" itu bekerja, tapi marilah kita bersiap untuk rekonstruksi dan rehabilitasi perekonomian serta kehidupan seluruh bangsa dan negara Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar