Jumat, 18 November 2011

HUKUM ALLAH SESUAI DENGAN FITRAH MANUSIA





Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
Q.S. Al-An’am: 57


Pendahuluan
            Manusia lahir dalam keadaan Fitrah.[1] Kondisi Fithrah merupakan  konsekuensi dari substansi penciptaan manusia yang memang berasal dari Ruh-Nya.[2] Sifat ini secara hakiki akan menggiring manusia untuk selalu cenderung kepada kebenaran. Maka perjalanan manusia sejati di muka bumi pada hekekatnya adalah perjanjian manusia menuju kebenaran mutlak yaitu Allah. Lalu ruh ditiupkan  kedalam jasad maka saat itu manusia melakukan materialisasi. Sesuatu yang suci dan immateri tersebut bercampur dengan sesuatu yang material. Proses penciptaan manusia mempunyai keistimewaan dibanding ciptaan-Nya yang lain. Karenanya manusia mempunyai tugas kekhalifahan yang harus dijewantahkan  dengan metakukan penyiaran nilai kebenaran. Untuk menemukan kebenaran manusia  mempunyai aiat yaitu akal, rasio, dan kalbu yang berpadu dalam fisik/psikis, dan menjadi  bangunan diri manusia. Karena kebenaran yang mutlak berasal dari yang mutlak maka  manusia dalam melakukan pencarian kebenaran menggunakan metode yang harus  digariskan oleh Pencipta kebenaran. Persefektif transendental inilah yang menjadi elan  vital bagi manusia untuk mencari kebenaran jika manusia tidak ingin teralienasi dari  dirinya sendiri.  Kepercayaan menjadi landasan utama manusia untuk mencari kebenaran,  sehingga pada akhirnya kepercayaan menjadi bagian yang terintegrasi dalam diri manusia.  Manusia dalam melakukan aktivitas kesehariannya merupakan refleksi terhadap nilai-nilai  kepercayaan. Dengan memposisikan kepercayaan tersebut diharapkan mampu melahirkan sistem kepercayaan yang terus menerus mentransformasikan nilai-niiai  kepada umat manusia. Nilai-nilai kepercayaan    tersebut akan menjadi pemandu  perubahan sekaligus menopang budaya dan peradaban. Beragam kepercayaan yang ada  mempunyai latar belakang yang berbeda sehingga perlu pemurnian kepercayaan yang  berasal dari Tuhan sebagai sumber nilai kebenaran mutlak. Tuhan, seperti yang dimaksud dalam syahadat sebagai nilai utama dalam Islam  mempunyai pemaknaan yang sangat luas. Bukan saja dimaknai sebagai hubungan manusia dengan Allah (hablum Minallah) tetapi juga memberi penguatan terhadap relasi sosial (hablum Minnas). Diawali dengan kalimat La Ilaahaillah berisi penegasan terhadap  segala bentuk penuhanan yang ada didunia. Dengan demikian manusia harus  terbebaskan dari berbagai bentuk tuhan yang ada, lalu dilanjutkan dengan kalimat illa Allah  memberi pemaknaan setelah pemebasan manusia dari berbagai belenggu Tuhan maka  hanya ada satu yang merepresentasikan nilai Kebenaran itu yakni Allah SWT.
Ketauhidan adalah dengan mengakui dan meyakini  keberadaan (eksistensi)   dzat tuhan, keberadaan dzat tuhan mutlak dan tidak  terdefinisikan dan hanya bisa didekati melewati via negativa. Prasangka tentang tuhan  hanya berlandaskan asumsi-asumsi subyektif yang sifatnya spekultif. Karena Dzat Tuhan  menjadi rahasia tuhan sendiri maka manusia mendekati Tuhan hanya melalui ciptaan-Nya.[3] Sebagai konsekuensi dari Dzat segala Dzat Tuhan maka tidak  boleh ada ciptaan Tuhan yang mengklaim dirinya yang mempunyai kekuasaan terhadap  ciptaan lainya. Untuk selanjutnya adalah mengakui keberadaan sifat-sifat Tuhan. Deskripsi  tentang sifat-Sifat Tuhan meliputi nama Tuhan. Kesemuanya menjadi suatu kesatuan  yang utuh, disamping Tuhan mempunyai sifat yang menggambarkan superioritas-Nya juga mempunyai sifat-sifat kelembutan. Penggambaran sifat tuhan yang timpang memberikan implikasi yang negatif terhadap proses pembentukan nilai kebenaran. Meskipun  dengan ke-Maha-an Tuhan jangan menjadikan manusia mengalami  kepasrahan yang berlebihan yang akhirnya membelenggu kemerdekaan manusia. Untuk  itu, manusia dengan potensinya berhak untuk menentukan nasibnya. Dari sifat Tuhan  itulah manusia akan mengetahui kemahaan Tuhan yaitu dengan mengenali perbuatan  Tuhan. Perbuatan Tuhan dalam hal ini adalah bagaimana Tuhan mendapatkan alam  dengan sangat teratur ditinjau dari segi apapun. Keteraturan ini secara rasio, akal dan  kalbu menggambarkan tentang bagaimana Tuhan mendapatkan alam. Dari pengenalan Tuhan itulah manusia dengan potensi kepercayaan menjadikan  spirit perubahan dalam memenuhi tanggung jawab kemanusiaan, sebagai konsekuensi  dari keyakinan "ada" nya Tuhan.   
            Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan,  merupakan makhluk tertinggi dan wakil Tuhan memakmurkan bumi dengan menerapkan  nilai-nilai-Nya (membangun peradaban). Jadi keberadaan manusia adalah disengaja, tidak  main-main dan akan dikembalikan kepada Tuhan untuk pertanggungjawaban[4]. Oleh karena itu sebagai pengemban amanah tentu saja manusia adalah makhluk pilihan yang dibekali dengan segenap potensi agar misi yang diembannya dapat terlaksana  dengan sebaik-baiknya. Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia bukan hanya  beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya melainkan suatu keseluruhan susunan  sebagai sifat-sifat dan kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu fitrah. Fitrah  membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran  (hanief). Itu dikarenakan karena Tuhan telah mengambil perjanjian dengan manusia  tentang keesaanNya agar manusia mengenal kebenaran yang mutlak (Tuhan)[5].
Kehanifan manusia  berwujud pada dlamier atau hati nurani adalah pemancar  keinginan kepada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia adalah  kebenaran mutlak atau kebenaran terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.   Fitrah  merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil  membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Meskipun cenderung kepada kebenaran namun Tuhan menyediakan dua jalan  sebagai penguji bagi manusia. Pilihan jalan yang diambil sepenuhnya diserahkan kepada  manusia. Bila ia inginkan kebenaran maka jadilah ia menjadi benar dan bila manusia  ingin menempuh kesesatan maka sesatlah ia.[6] Tuhan akan menunjukan  jalan kepada manusia yang mengusahakannya. Pada mula dilahirkan manusia tidak mengetahui apa-apa. Kelahiran manusia  dalam keadaan suci. Kemudian Allah melengkapi indera dan akal sebagai bekal manusia  mengenali lingkungannya. Manusia dapat berubah melanggar ciri asasi kemanusiannya  karena lingkungan dan dorongan nafsunya. Barang siapa menuhankan nafsunya maka ia  telah kehilangan derajat kemanusiaan bahkan lebih rendah nilainya dari pada binatang  ternak[7]. Karena itu adalah beruntung bagi orang yang menyucikan  jiwanya dan merugilah orang yang mengotori jiwanya[8]. Penyucian  jiwa itu dengan banyak mengingat Tuhan[9] dan mendirikan shalat  adalah salah satu perwujudan dari mengingat Tuhan[10].

Fenomena Hukum Islam di Masyarakat
Menurut Natsir, Islam – berbeda dengan agama-agama lainnya – mengandung peraturan-peraturan atau hukum-hukum kenegeraan, termasuk hukum perdata dan pidana. Untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut tentunya diperlukan lembaga yang dengan kekuasaannya dapat menjamin hukum-hukum itu. Oleh karena itu adanya penguasa atau pemerintah, ummat Islam bebas  memilih mana yang paling sesuai asalkan tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Islam.
Natsir membenarkan bahwa Islam memang bersipat demokratis, tapi sama sekali tidak berarti bahwa semua hal, termasuk hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Islam, masih perlu dikukuhkan atau ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui pemungutan suara. Atau dengan kata lain, musyawarah itu hanya terbatas pada hal-hal yang belum ditetapkan hukumnya, dan mencari cara yang terbaik untuk melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan. (Sjadzali, 1991: 193)
Natsir menjamin dalam satu negara yang berdasarkan Islam, umat dari agama-agama lain mendapat kemerdekaan beragama dengan luas; dan mereka tidak akan keberatan kala di negara itu berlaku hukum Islam mengenai soa-soal kemasyarakatan, karena hukum tersebut tidak bertentangan dengn agama mereka, mengingat bahwa dalam agama mereka memang tidak ada peraturan yang bersangkutan dengan hal-hal semacam itu.
Dalam pidatonya di muka Pakistan Institute of International Affairs, Karachi tanggal 2 April 1952, Natsir mengatakan:
Pakistan jelas merupakan suatu negeri Islam, baik dilihat dari penduduknya (yang beragama Islam) maupun kerena pilihannya untuk menyatakan Islam sebagai agama negara. Demikian pula Indonesia adalah suatu negara Islam dengan adanya kenyataan bahwa Islam diakui sebngai agama bagi rakyat Indonesia, meskipun dalam Undang-undang Dasar RI tidak dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak memisahkan agama dari kenegaraan. Indonesia menempatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila yang dianut sebagai landasan rohani, moral dan etika bagi negara dan bangsa. Dengan demikian maka di kedua negeri dan rakyat kita, Islam menduduki tempat yang sangat esensial dalam kehidupan kita, hal mana tidak berarti bahwa sistem negara kita itu teokrasi.(Sjadzali, 1991: 194-195)
Padahal sesungguhnya ruang lingkup dan cakupan Hukum Islam sangat luas, meliputi berbagai aspek kehidupan manusia.
Diantara penyebabnya adalah persepsi sebagian umat Islam terhadap produk Hukum Islam yang masih sering mengidentikan Fiqh dengan Syariah. Menurut Atho’ Mudzhar yang selanjutnya dikutif oleh Rofiq (2001: 157-158) bahwa ragam produk Hukum Islam itu ada empat macam. Pertama, fiqih yaitu bangunan pengetahuan keislaman yang meliputi iabadah dan muamalah secara menyeluruh. Kedua,fatwa yaituproduk pemikiran hukum perorangan kelembagaan, atas dasar permintaan anggota masyarakat terhadap persoalan-persoalan tertentu. Ketiga, keputusan pengadilan. Produk Hukum ini mengikat pihak-pihak yang berperkara. Sebagai hasil ijtihad hakim, ia memiliki nilai yurisprudensi, yakni sebagai acuan hakim atau praktisi hukum dalam menyelesaikan persoalan yang sama. Keempat, peraturan perundag-undangan termasuk didalamnya kompilasi.
Seiring dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, akhir-akhir ini dibeberapa wilayah di Indonesia terdengar cukup nyaring tuntutan pemberlakuan syari’at Islam. Mengenai syari’at Islam ini Irfan Hielmy (2002:2) memberikan penjelasan sebagai berikut:
Syari’at pada awalnya, sebagaimana dipahami oleh para ulam salaf, mencakup keseluruhan aspek ajaran Islam (akidah, akhlak dan Hukum Islam). Mereka memberikan pengertian syari’ah sebagai hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hambanya yang dibawa oleh nabi-nabinya, baik hukum-hukum  itu berhubungan dengan cara berakidah maupun beribadah. Dalam pengertian ini, syari’ah adalah agama itu sendiri (al-Millah wa al-Din). Syari’ah dengan demikian mencakkup segala aspek yang tercakup dalam ajaran Islam. Ia mencakup aspek akidah, ibadah dan akhlak.
Tetapi, syari’ah juga dipahami sebagai bagian dari ajaran Islam yang mencakup bidang hukum-hukum yang digariskan Allah dan Rasulnya dan tidak mencakup aspek akidah dan akhlak. Syari’ah lebih dekat dengan pengertian Hukum Islam, bahkan lebih mendekati pengertian fiqih dalam arti umum. Mahmud Saltowut, misalnya, menulis kitab ‘al-Islam Aqidah wa Syari’ah yang didalamnya membedakan antara syari’ah dan syari’ah. Ia memberikan pengertian syari’ah sebagai :


Peraturan-peraturan yang ditetapkan Allah supaya manusia berpegang kepadanya, (pengaturan) dalam hubungan manusia dngan Tuhannya,  hubungan manusia denagn saudaranya sesama manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan.

Hukum Islam (Syari’at Islam)
Dalam khazanah hukum di Indonesia, istilah hukum Islam dipahami sebagai penggabungan dari dua kata, yaitu Hukum dan Islam. Hukum menurut Oxford English Dictionary, adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu negara atau masyarakat tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subjeknya, orang yang tunduk kepadanya atau pelakunya. Sedangkan menurut Hooker, hukum adalah setiap aturan atau norma di mana perbuatan-perbuatan itu terpola. Dan kata Blackstone, hukum adalah suatu aturan bertindak dan diterapkan secara tidak pandang bulu kepada segala macam perbuatan, baik yang bernyawa ataupun tidak, rasional maupun irasional. (Rofiq, 2001: 22)
Pengertian hukum yang lebih luas dikemukakan oleh McDonald, yaitu hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat seluruh anggotanya. (Rofiq, 2001: 23)
Sedangkan Islam menggunakan terma syari’ah atau fiqih, yang keduanya berkaitan erat sebagai formulasi dari hukum Islam. Syari’ah berasal dari bahasa Arab dari akar kata syara’a yang memiliki arti jalan, peraturan atau undang-undang. Kemudian kata ini menjadi istilah baku untuk hukum Islam, yakni seperangkat sistem peraturan yang ditetapkan Allah segai pegangan manusia, baik dalam hubungan dengan Allah (habl min Allah) maupun hubungan dengan sesama manusia (habl min al-nas). (Hidayat, 1988:136)
Kata syari’ah terdapat dalam surat al-Jatsiyah [45] ayat 18, sebagai berikut:
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’ah dari setiap urusan itu, maka ikutilah syari’ah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 18)

Menurut Hidayat (1988: 137) secara global syari’ah terbagi menjadi dua kategori, yakni: (a) Peraturan-peraturan yang menyangkut hubungan langsung dengan Tuhan, yang disebut qa’idah ubudiyah dalam arti khas; (b) Peraturan-peraturan yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia atau dengan alam lainnya, yang disebut qa’idah mu’amalah atau mu’amalah saja atau ibadah dalam arti luas.
Syari’at dalam kategori pertama (qa’idah ubudiyah), berisi bentuk materi hukum yang sudah baku untuk dilaksanakan. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi saw yang menjadi rujukan kategori ini memberikan keterangan yang terperinci dan berkekuatan tetap, seperti terlihat dalam tata cara wudlu, shalat, pusa, haji dan sebagainya. Artinya, peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang menyangkut tata cara ibadah ini tidak dapat diubah atau tidak dapat diganggu gugat lagi, melainkan harus dilaksanakan tetap sebagaimana cra diperintahkannya. Selain itu, peraturan teperinci juga terdapat dalam bidang hukum yang mengatur tata cara berkeluarga, seperti hukum yang mengatur kelompok wanita yang tidak bolah dinikahi oleh seorang pria (Q.S. 4: 22-24) yang gunanya untuk mencegah kekacauan keturunan dan pertalian darah. Atau hukum yang menetapkan siapa saja anggota keluarga yang berhak mendapat warisan dan berapa persen jatah masing-masing dengan melihat pertimbangan ahli waris sang pemilik harta itu ketika meninggalkan dunia, sudah dipotong oleh utang atau wasiatnya. (Q.S. 4: 11-12, 176)
Syari’ah dalam kategori kedua (qa’idah muamalah), berisi bentuk materi hukum yang bersifat umum dan fleksibel, yakni yang berupa norma-norma dasar atau pokok-pokok peraturan. Misalnya, tata cara bernegara. Al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip saja dengan berpegang kepada cita “baldah thayibah wa rabb ghafur” (suatu negara yang makmur dibawah perlindungan Tuhan Yang Maha pengampun) yang terdapat dalam surat Saba ayat 15. Namun bagaimana mendirikan negara, bahasa dan bendera negara, konstitusi atau undang-undang negara, wewenang kepala negara, fungsi kepala negara, kewajiban dan hak-hak serta tugas-tugasnya atau tentang pembangunan suatu negara yang thayibah itu tidak diberikan keterangannya secara terperinci. Ini menghendaki seperangkat peraturan lagi tentunya. Peraturan ini harus dibuat oleh para ahli di bidang ini, dengan berijtihad semaksimal mungkin terhadap norma-norma dasar atau pokok-pokok aturan tersebut. Maka norma-norma dasar atau pokok-pokok peraturan itu tergolong syari’ah, sedang peraturan-peraturan baru yang disusun berdasarkan ijtihad manusia terhadap norma-norma atau pokok-pokok peraturan itu disebut hukum ijtihadiyyah atau hukum fiqih, yang biasa disingkat fiqih saja. Dengan demikian, yang pertama (norma-norma dasar atau pokok-pokok peraturan mempunyai kekuatan tetap (permanen), sedangkan yang kedua (hukum ijtihadiyyah atau hukum fiqih), dapat diubah, dimodifikasi atau ditinjau kembali. (Hidayat, 1988: 137-138)
Abdul Wahhab Khallaf (1996 : 1) mendefinisikan fiqih dengan:
“Kumpulan hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistimbath dalil-dalil syari’at Islam lain bagi kasus yang tidak terdapat nashnya.”
Ada beberapa pandangan ulama yang berbeda tentang pemahaman fiqh dengan syari’at. Kelompok pertama menyatakan bahwa fiqih itu sama pengertiannya dengan syari’at. Seperti yang ditulis Hasbi Ash-Shiddieqy dan Abdurrahman Wahid, yang dikutip kembali oleh Muhammad Azhar (1996: 5), ia menyatakan:
Hukum Islam yang sebenarnya tidak lain dari fiqih Islam, atau syari’at Islam, yaitu:  “Koreksi daya upaya para fuqaha dalam menetapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.”
Abdurrahman Wahid menuliskan sebagai berikut:
“Hukum Islam biasanya dikenal dengan nama fiqih (yang tadinya memiliki arti bahasa ‘memahami’), sering juga disebut syari’ah (yang semula berarti ‘hasil perbuatan’). Penamaan dengan istilah fiqih ini menunjukan totalitas luas lingkupnya dalam kehidupan, sehingga penerapannya dalam segala aspek kehidupan itu harus dianggap sebagai upaya pemahaman agama itu sendiri.”

Kelompok kedua, yang menyatakan bahwa pengertian fiqih dengan syari’at itu sesuatu yang berbeda .  Fiqih merupakan produk pemikiran manusia yang bersifat relatif terhadap syari’at Allah, sedangkan syari’at adalah nilai-nilai Islam yang bersifat absolut, universal dan abadi.
Diantar yang mewakili kelompok kedua ini adalah Ibrahim Hosen, yang dalam salah satu dialognya beliau mengatakan:
”Sengaja saya bedakan antara fiqih dan hukum syariat sesuai dengan pendapat ulama muta’akhirin. Dulu syari’ah demikian luas. Akidah termasuk syari’ah. Semua masuk syari’ah. Sekarang syari’ah dikhususkan dengan hukum , dengan tingkah laku manusia. Syari’ah tidak mnerima penafsiran, seperti wajibnya shalat dan haramnya judi. Dalam masalah fiqih, biasa terdapat perbedaan. Ini sudah sifat fiqih. Syari’ah hanya satu.” (Azhar, 1996: 6)

Kelompok ketiga, berpandangan bahwa fiqih itu tidak hanyha difokuskan pada hukum Islam tetapi mencakup semua spek ajaran Islam. Nurcholis Madjid sebagaimana yang dikutip oleh Azhar dalam salah satu presentasi makalahnyapada Kajian Agama Paramadina, beliau menyatakan:
Fiqih ialah pemahaman keseluruhan ajaran agama, seperti dimaksud oleh Kitab Suci; Tidaklah seharusnya orang-orang beriman maju (ke medan perang) semuanya. Alangkah lebih baiknya kalau dari setiap kelompok dari mereka itu ada sebagian yang pergi (ke medan perang), agar (yang lainnya) dapat memperdalam pemahamannya tentang agama, dan agar mereka ini dapat mengingatkan (mengajari) kaum mereka (yang pergi ke medan perang) bila telah kembali kepada mereka, supaya mereka itu dapat menjagadiri (dari perbuatan yang tidak benar). (at-Taubah: 122)
“Memperdalam pengertian tentang agama” itu, dalam bahasa Arab ialah: tafaqah fi al-din, berdasarkan lafal firman itu sendiri. Dan dari perkataan tafaqah itu terambil kata fiqih , yang artinya ‘pendalaman agama’ atau ‘emahaman yang mendalam’. Maka penggunaan kata-kata itu di zaman para sahabat memiliki pengertian ‘pemahaman yang mendalam’ tentang keseluruhan materi dan semangat ajaran agama seperti yang dimuat dalam Kitab Suci dan dicontohkan oleh Sunnah Nabi.

Di sisi lain Nurcholis Madjid menyatakan:
“.........sistem hukum dalam al-Qur’an lebih merupakan etis dan moral dari pada ketentuan legal-moral seperti yang ada dalam pengertian ‘fiqih’ sekarang. Tetapi justru karena kenyataan ini, maka fiqih yang ada sekarang ini pun tetap mengandung bagian-bagian yang sesungguhnya merupakan perkara etis dan moral, bukan masalah legal. Contohnya yang paling mudah ialah selalu dimulainya pembahasan dalam kitab-kitab fiqih dengan bab thaharah atau kebersihan badani. (Azhar, 1996: 7-9)

Dan dari ketiga pandangan tokoh tadi, pandangan kedua dan ketiga merupakan pandangan yang pantas dikedepankan.
Kata syari’ah, penggunaannya dalam al-Qur’an, identik dengan jalan yang jelas menuju kemenangan, atau jalan raya kehidupan yang baik. Jadi, syari’ah merupakan nilai-nilai keagamaan yang berfungsi mengarahkan kehidupan manusia. Apabila kita mengacu pada informasi al-Qur-an, ajaran-ajaran agama sebelum Islam – dalam pengertian teknis – juga disebut syari’ah. Karena bagi setiap umat Allah memberikat syari’at dan jalan yang terang. (Q.S. al-Maidah [5] : 48). Praktis ajaran-ajaran agama yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu, disebut juga dengan syari’ah. Yang dimaksud syari’ah disini adalah semua aspek ajaran Islam. (Rofiq, 2001: 15)
Wacana penerapan syari’at Islam telah mendapata ruang yang sangat luas dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Namun jauh-jauh hari sebelum Otonomi Daerah ini, wacana ini telah menjadi tuntutan sebagian di kalangan masyarakat dan bangsa Muslim. Mulai dari Mesir oleh Ikhwanul Muslimin, Pakistan dengan Zia al-Haqnya, Iran dengan Khumaeni, Libya dengan Muammar Khadafi, hingga negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunai Darusalam dan Indonesia.
Bagi Indonesia pemikiran Islam dan tata negar bisa dikatakan belum sempat berkembang jauh, walau pun partai-partai politik Islam sudah mulai bermunculan sejak zaman penjajah, tetapi pada saat itu, sebagaiman parta-partai poitik selain Islam, perhatian partai-partai politik Islam terpusatkan pada perjuangan pembebasan Indonesia dari penjajahan Belanda. Bahkan sampai tahun-tahun pertama kemerdekaan penonjolan Islam oleh partai-partai politik Islam baru sebatas syiar, simbol atau slogan, tanpa uraian yang rinci. Misalnya PSII dalam kongresnya pada bulan Januari 1927 mengesahkan suatu resolusi bahwa partai tersebut memperjuangkan “Kemerdekaan Kebangsaan yang Berdasarkan Islam”. Tetapi tidak lama kemudian, terungkap bahwa resolusi tersebut tidak berarti bahwa partai tersebut menginginkan agar pola politik di Indonesia merdeka nanti di dasarkan atas Islam. (Sjadzali, 1991: 189)
Pada tanggal 17 Nopember 1945 berdirilah Masyumi (Majelis Syura Muslim Indonesia) sebagai satu-satunya partai politik umat Islam Indonesia. Pada bulan Desember 1945 Masyumi mengeluarkan suatu program aksi yang mengemukakan bahwa partai ini bermaksud melaksanakan cita-cita Islam dalam kenegaraan, hingga bisa mewujudkan suatu negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat yang berdasarkan keadilan menurut ajaran Islam, serta memperkuat dan menyempurnakan Undang-undang Dasar RI sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam. (Sjadzali, 1991: 190)



[1] Q., s. al-Rum/ 30 :30.
[2] Q., s. al-Hijr/15:29.
[3] Q., s. ali-Imran/3: 190.
[4] Q., s. al-Mu’minun/23:115.
[5] Q., s. al-Hadid/57:28.
[6] Q., s. al-Kahfi/18: 29.
[7] Q., s. aI-Furqan/ 25:44.
[8] Q., s. al-Syams/ 91:10.
[9] Q., s.  al-A’1aa/87:14.
[10] Q., s. al-A’1aa/87:15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar