Kamis, 17 November 2011

Komunikasi (Tabligh)



Pendahuluan
            Dalam dunia  pendidikan, Komunikasi merupakan salah satu pondasi yang ikut membantu terlaksananya proses pendidikan. Kegiatan komunikasi merupakan sesuatu yang sangat inheren dengan kegiatan pendidikan itu sendiri. Sebab proses pendidikan berjalan melalui komunikasi. Setiap pendidik bertugas untuk menjadikan bahan ajar yang disampaikan bukan saja sekedar dikuasai murid, namun lebih dari itu bahan ajar tedrsebut menjadi bagian dari sikap atau kepribadian murid. Sehingga, demi keberhasilan suatu pendidikan, maka seorang pendidik seyogyanya dapat  me nguasai   konsep-konsep utama komunikasi.
            Berkenaan dengan kontek di atas, Rasulullah sebagai pembawa risalah Ilahy telah banyak memperlihatkan keberhasilannya dalam menyampaikan ajaran Islam. Dan itu tiada lain karena  profesionalitasnya dalam berkomunikasi.
            Tabligh adalah salah satu karakteristik atau konsep utama komunikasi yang dilakukan Rasulullah dalam upaya menyampaikan ajaran Islam kepada ummatnya. Dan sekaligus menjadi uswah dan qudwah bagi pengikutnya, sehingga pendidikan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tuntutan Qur’an dan Sunnah.
            Dalam Islam, konsep tabligh erat sekali kaitannya dengan dakwah. Tabligh merupakan bagian dari dakwah itu sendiri. Karena tabligh pada intinya berisi penyampaian pesan-pesan Tuhan baik bedasarkan al-Qur’an ataupun al-Sunnah.
            Tabligh juga merupakan salah satu metode dalam pendidikan dan pengajaran Islam yang tentunya patut dikaji lebih lanjut sehingga diharapkan bisa membantu pelaksanaan pendidikan.
            Dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas secara ringkat tentang tabligh, dilihat  dari pengertian, landasan hukum, dan prinsip-prinsip dalam tabligh dengan menggunakan pendekatan hadis.

Pengertian Tabligh

            Tabligh berasal dari kata : ballagha - yuballighu – tablighan, yang artinya menyampaikan. Secara Istilah berarti menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang diterima dari Allah SWT. Kepada umat manusia untuk dijadikan pedoman dan dilaksanakan agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Isi pokok tabligh adalah amar ma’ruf nahi munkar ( menyuruh kapada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran).
            Mula-mula kegiatan tabligh dilakukan oleh Rasulullah sendiri kemudian dilanjutkan oleh para shahabat yang termasuk assabiqun al-awwalun (pemeluk Islam pertama), dan seterusnya menjadi kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Pengikut Asy’ariyah sering menggunakan kata tabligh sebagai salah satu sifat wajib bagi Rasul Allah. Hal ini karena Rasul menerima wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada ummatnya.
            Di kalangan masyarakat kita, tabligh dikenal sebagai salah satu metode dakwah yang ditujukan kepada maysarakat umum yang cenderung lebih bersifat abstrak, yaitu mereka yang lebih banyak menggunakan emosi dibanding rasio, sehingga dalam tabligh biasanya tidak diperlukan tanya jawab. Mereka cenderung ingin memperoleh kepuasan emosi daripada kepuasan rasio. Uraian yang dikehendaki massa seperti ini adalah uraian yang populer, mudah, jelas dan tegas. Untuk massa yang demikian diperlukan ahli atau orator, yang mampu mengendalikan diri, karena masyarakat yang abstrak lebih mudah tersinggung dan mudah terbakan jiwanya, sanggup berbuat apa saja.

 

Landasan Tabligh

            Dalam uraian di atas telah disebutkan bahwa inti dari tabligh adalah menyampaikan kebenaran atau amar ma’ruf nahi muhkar. Rasulullah telah memberikan contoh dalam bertabligh dan sekaligus menyuruh umatnya untuk neneruskan misi tersebut. Banyak hadis beliau yang berisi tentang tugas manusia terkhusus kaum muslimin untuk bertabligh, diantaranya hadis yang berbunyi:



“Sampaikanlah olehmu apa yang kalian peroleh dariku meski hanya satu ayat. Ceritakanlah dari bani Israil tak mengapa dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya dari ap neraka.”. (Fathul Bari :175)    
            Hadis ini menunjukkan atas wajibnya bertabligh, menyampaikan apa yang datang dari Nabi walaupun sedikit. Adapun mengenai penyampaian khabar-khabar yang datang dari Bani Israil  baru diperbolehkan setelah adanya penetapan hukum Islam,  sehingga tidak ditakutkan lagi terjadinya fitnah. Dan hal ini diperbolehkan karena memungkinkan bisa dijadikan i’tibar. Imam Malik mengatakan bahwa bolehnya menyampaikan berita dari Bani Israil itu apabila beritanya berisi perkara yang baik dan bukan berisi kebohongan. Atau (menurut pendapat yang lain) adalah yang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah, selain itu tidak.
            Dalam potongan hadis terakhir Nabi mengisyaratkan supaya dalam tabligh para muballigh benar-benar menyampaikan apa yang datang dari Nabi, dan bukan mengada-ada atau mebuat bid’ah, karena hal itu semata-mata akan menjerumuskan pelakunya ke dalam api Neraka.Para ulama sepakat perbuatan seperti ini merupakan dosa besar.          
Selain hadis di atas adalah yang diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudry :


“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika belum sanggup, maka dengan lisannya; dan jika masih juga belum sanggup, maka dengan hatinya. Namun yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”(Jami’ al-Ulum wa al-Hikam:301)
            Hadis ini menunjukkan, bahwa diantara kewajiban fundamental dalam Islam adalah amar ma’ruf nahi munkar. Ini merupakan kewajiban yang dijadikan Allah sebagai salah satu dari dua unsur pundamental tentang keutamaan dan kebaikan umat ini. Orang muslim bukan hanya sekedar orang shalih untuk dirinya, berbuat baik, meninggalkan keburukan, hidup pada lungkungan dirinya sendiri, tidak memperdulikan kebaikan disingkirkan di sekitarnya, tidak memperdulikan keburukan yang dilakukan disekitarnya. Tetapi muslim adalah orang yang shahih untuk dirinya dan shahih untuk orang lain.
Dan hadis di atas sangat jelas maknanya, bahwa merubah kemungkaran merupakan hak seorang muslim yang melihatnya, dan bahkan merupakan kewajibannya.
Lafazh “man” dalam hadis ini merupakan lafazh umum. Sebagaimana yang dikatakan para pakar ilmu ushul, lafazh ini bersifat umum, meliputi setiap orang yang melihat kemungkaran, pemimpin ataupun rakyat. (Yusuf Al-Qardhawy, 1996 : 168)
Rasulullah saw mengarahkan seruannya (barangsiapa diantara kalian melihat) kepada semua orang muslim, tanpa ada yang dikecualikan, dimulai dari kalangan shahabat, lalu disusul generasi demi generasi sesudah mereka hingga hari kiamat. Beliau adalah imam, pemimpin dan hakim bagi umat Islam. Sekalipun begitu, beliau tetap memerintahkan siapapun dari mereka (rakyat) yang melihat suatu kemungkaran agar merubahnya.
Dalam hadis di atas terdapat Lafaz “ra’a” (melihat) yang menurut pengarang kitab Dalil al-Falihin maknanya adalah “alima” (mengetahui), sehingga maksud dari “man ra’a”, adalah orang yang mengetahui, baik melihatnya ataupun tidak (M. Alan Ash-Shiddiqy: 464). Sedangkan menurut Al-Qardhawy lafadz di atas mengisyaratkan bahwa kemungkaran harus dirubah jika kelihatan dan disaksikan, bukan kemungkaran yang di dengar dari orang lain. Oleh karena itu Islam tidak menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan kemungkaran secara sembunyi-sembunyi dan tidak menampakkannya. Perbuatan ini diserahkan kepada Allah untuk dihisab pada hari kiamat. Hisab ini bukan menjadi wewenang orang di dunia, sampai ia melakukannya secara terang-terangan. Bahkan hukum Allah lebih ringan bagi orang yang menutupi kemungkarannya dengan menggunakan tabir Allah dan tidak menampakkan kedurhakaannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis,

Setiap umatku diampuni kecuali orang-orang yang menampakkan (dosanya).”
Tak seorangpun mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Yang paling pokok adalah kedurhakaan hati, sepewrti riya’, kemunafikan, kesombongan, dengki, kikir dan lainnya sekalipun agama mengangapnya sebagai dosa besar, selagi tidak mengimbas pada perbuatan yang nyata yang merugikan orang lain. Sebab yang diperintahkan adalah menghakimi yang nampak. Namun bukan berarti kita membiarkan orang untuk terbiasa melakukan kedurhakaan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hanya caranya yang berbeda. Kalau yang nampak memungkinkan untuk mandapat hukuman  penguasa, sementara yang tersembunyi atau yang bersifat kedurhakaan hati  cukup dengan diberi pemahaman tentang kebenaran yang akan memberikan kemaslahatan. Yang jelas seorang muslim dilarang untuk mencari-cari kesalahan orang.
Kata “munkaran” -dengan lafazh umum- menunjukkan terhadap segala sesuatu yang diharamkan, baik perbuatan yang diperingatkan atau sesuatu yang diperintahkan untuk ditinggalkan, baik yang termasuk dosa kecil ataupun dosa besar, apa pun bentuknya, baik politis, ekonomis, sosial ataupun peradaban. Hanya saja kemungkaran yang dimaksud di sini adalah  kemungkaran yang benar-benar diharamkan menurut syariat, atau benar-benar diingkari nash syariat yang jelas maknanya, atau berdasarkan kaidah-kaidah yang pasti atau ditunjukkan bagian-bagian dari syariat. Kemungkarannya tidak bisa diukur berdasarkan pendapat dan ijtihad. Karena pendapat atau ijtihad bisa benar dan bisa salah, yang bisa berubah menurut tempat, kondisi, dan tradisi yang berlaku.(Yusuf Al-Qardhawy, 1997 : 170)
Atau kalau tidak, kemungkaran itu harus disepakati  semua orang sebagai kemungkaran. Jika ulama mujtahidin yang dulu maupun sekarang masih bersilang pendapat, antara melarang dan membolehkan, maka hal itu tidak termasuk dalam lingkup kemungkaran yang harus dirubah dengan menggunakan tangan, terutama yang dilakukan individu. Hal ini sejalan dengan ungkapan Zainuddin Abi al-Farj dalam kitabnya Jami’ al-Ulum wa al-Hikam:


“Kemungkaran yang wajib diingkari adalah kemungkaran yang sudah disepakati.”(Zainudin Abi Al-Farj:306)
Mengenai kata “biyadihi” (dengan tangannya), Yusuf Al-Qordhawi memaksudkannya dengan kekuatan material atau spiritual yang ada pada orang yang memiliki kekuasaan. Dengan kata lain orang yang merubah kemungkaran dengan tangannya berarti ia mempunyai kekuatan material atau spiritual yang memungkinkan baginya utnuk menyingkirkan kemungkaran itu secara mudah dan tidak berlarut-larut. Hal ini biasanya dialami seseorang yang memiliki kekuasaan menurut lingkup kekuasaannya, seperti suami terhadap istri, bapak terhadap anak, ketua yayasan dilingkup yayasannya, amir yang ditaati sebatas wilayah kekuasannya. Masing-masing bisa berbuat menurut kesanggupannya.
Adapun kekuatan yang bisa digunakan untuk merubah kemungkaran diantaranya:
  1. Kekuatan senjata
  2. Dewan Perwakilan Rakyat dengan uundang-undangnya
  3. Kekuatan rakyat secara menyeluruh yang bisa menyerupai ijma.

Selanjutnya orang yang tidak mampu merubah kemungkaran dengan tangannya, maka ia bisa melakukannya dengan lisan (bilisanihi). Ini menunjukkan bahwa seoarang muslim wajib beramar ma’ruf nahi munkar lewat kemampuannya dalam melontarkan kata-kata yuang  bisa mempengaruhi orang lain. Tabligh adalah salah satu bentuk amar makruf nahi munkar billisan. Dari hdis di atas  dapat pula dipahami bahwa kalau seorang muslim wajib merubah kemungkaran yang telah terjadi,  maka tindakan prepentif terhadap terjadinya kemungkaranpun wajib  dilakukan. Para muballigh dituntut selain merubah kemungkaran juga mampu untuk senantiasa memberikan penerangan, sehingga dapat menutup jalan-jalan menuju pada kemungkaran.  Hal ini sejalan dengan kaidah ushul fiqih tentang saddu al-dzara’i.
Adapun mengingkari kemungkaran dengan hati atau (biqolbihi) mengandung maksud bahawa hati tidak rela terhadapnya dan memilih untuk sibuk berdzikir kepada Allah(An-Nawawy,1997 :223). Disamping itu merubah dengan hati menunjukkan adanya beban perasaan dan kejiwaan dalam melawan kemungkaran dan para pelakunya. Beban ini bukan hanya sekedar sesuatu yang berkonotasi negatif seperti anggapan orang. Sebab jika begitu tidak disebut dengan kata-kata merubah di dalam hadis.
Beban perasaan dan kejiwaan ini akan terus membuntuti dan sustu saat akan menyemburkan nafas da;lam satu tindakjan yanbg positif, bisa berupa revolusi yang melibatkan orang banyak atau ledakan yaang sulit dibayangkan. Jika ada tekanan, tentu akan diikuti dengan ledakan. Ini merupakan sutu sunnatullah yang berlaku di alam ini.
Jika hadis di atas menyebut sikap ini dengan istilah “merubah dengan hati”, maka dalam hadis lain disebutkan dengan istilah “jihad hati”, yang mrupakan tingkatan jihad terakhir, sebagaimana ia merupakan tingkatan iman terakhir dan paling lemah (adh’aful iman). Hal ini disebabkan karena yang namanya amal perbuatan nyata itu merupakan buahnya iman. Buah iman yang paling tinggi dam persoalan nahi munkar adalah mencegah dengan menggunakan tangannya.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Abi ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-Dari Nabi Bersabda:


“Agama adalah nasehat. Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya dan imam-imam serta umumnya kaum muslimin”(Ibid : 88)
Al-Khattabi berkata : “Nasehat adalah kata yang maknanya mencakup upaya untuk mewujudkan kebaikan bagi orang yang dinasehati.”
Dikatakan pula: nasehat diambil dari kata                              artinya “Seseorang menjahit pakaiannya”. Tindakan penasehat didalam upayanya untuk mewujudkan kebaikan bagi orang yang dinasehati mereka diibaratkan dengan upaya menjahit untuk menutupi celah pakaian.”
Dikatakan:”Ia diambil dari kata                           artinya, ‘saya membersihkan madu’. Orang-orang menyerupakan bersihnya ucapan dari tipu daya sebagaimana bersihnya madu dari kotorannya.”
Para ulama berkata:” Makna nasehat untuk Allah Taala adalah beriman kepada Allah, meniadakan sekutu baginya, meniadakan keingkaran sifat-sifat bagi-Nya, menyifati bagi-Nya dengan semua sifat kesempurnaan dan keagungan, memaha sucikannya dari seluruh kekurangan, mentaati-Nya, menghindari kemaksiatan bagi-Nya mencintai kepada-Nya, membenci karena-Nya, mencintai siapa yang mentaati-Nya, memusuhi bagi orang yang bermaksiat kepada-Nya,mengakui dan mensyukuri nikmat dari-Nya, ikhlas dalam segala urusan, berdoa dan memberikan anjuran untuk merealisasikan semua sifat tersebut, bersifat simpatik kepada seluruh umat manusia atau siapa yang memungkinkan diantara mereka berdasarkan semuanya itu. Hakekat kesemua sifat ini kembali kepada nasehat seorang hamba kepada dirinya sendiri, sedangkan Allah tidak membutuhkan nasehat dari siapapun.
 Nasehat untuk kitab Allah Ta’ala adalah beriman bahwa ia merupakan firman Allah dan kitab yang diturunkannya, tidak ada ucapan manusia yang serupa dengannya dan tidak ada seorangpun diantara mahluknya yang mampu membuat yang serupa dengannya, kemudian mengagungkan dan membacanya dengan sebenar-benarnya bacaan, dengan bacaan baik, dengan melafalkan huruf-hurufnya secara benar, serta dengan khusyu, membelanya dari penyimpangan orang yang mentakwilkan dan penentangan orang-orang yang mencelanya, membenarkan kandungannya, mematuhi hukum-hukumnya, memahami ilmu-ilmu dan permisalan-permisalannya, mengambil pelajaran-pelajarannya, memikirkan keajaiban-keajaibannya, melaksanakan ayat-ayat muhkamnya, percaya penuh dengan ayat-ayat mutasyabihatnya, mempelajari mana yata-ayat yang umum, mana ayat yang khusus, mana yang nasikh, dan mana yang manshuk, menyebarkan ilmu-ilmunya, mendakwahkannya dan mendakwahkan semua yang telah disebutkan mengenai nasehat kepada kitab-Nya .
Nasehat kepada Rasul-Nya adalah membenarkan risalah beliau, mengimani seluruh ajaran yang dibawa beliau, mentaati beliau dengan segala perintah dan larangannya, membela beliau semasa hidup maupun sesudah beliau wafat, memusuhi siapa yang memusuhinya, berwala kepada siapa yang berwala kepadanya, menghormati haknya, menghidupkan sunahnya, menyebarkan dakwahnya, menghilangkan tuduhan jahat mengenai sunnah tersebut, menyebarkan ilmu mengenainya, mempelajari, berdoa untuknya, bersikap lembut dalam mempelajarinya, mengajarkannya, mengagungkannyta,  dan menghormatinya, bersikap santun ketika membacanya, menahan diri dari berbicara mengenainya tanpa ilmu, menghormati para ahlinya karena keterkaitan mereka dengannya, meniru akhlak dan adab beliau, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, menjauhi siapa saja yang mengada-ngadakan bid’ah dalam sunnah beliau atau mencela salah seorang sahabat beliau, dsb.
Nasehat bagi imam-imam kaum muslimin adalah membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka juga dalam kebenaran, memerintah mereka untuk mentaatinya, melarang dan mengingatkan mereka dengan santun, memberitahu mereka tentang apa yang meraka lalaikan dan tentang hak-hak kaum muslimin yang belum mereka ketahui, tidak memberontak kepada mereka menyatukan hati kepada kaum muslimin supaya mentaati meraka.
Al-khatabi berkata: Diantara bentuk nasehat kepada mereka adalah melaksanakan shalat dibelakang mereka, berjihad bersama meraka, menyerahkan sedekah kepada mereaka, tidak memberontak kepada mreka dengan kekuatan bersenjata bila terlihat mereka melakukan ketidak adilan atau keburukan sikap. Tidak pula menjilat mereka dengan pujian dusta mengenai diri mereka. Hendaklah berdoa untuk kebaikan dan keshalihan mereka.”
Adapun nasehat untuk umumnya kaun muslimin adalah membimbing mereka kepada apa yangh bisa memperbaiki urusan agama dan dunia mereka.
Ibnu Bathal berkata:” Dalam dahits ini terdapat dalil bahwa nasihat dinamakan juga agama dan Islam serta bahwa agama itu selain mencakup perbuatan juga mencakup ucapan. Nasihat adalah kewajiban yang barang siapa telah melaksanakannya maka ia mendapatkan pahala, sedangkan kewajibannya gugur bagi yang lain. Nasihat adalah kewajiban yang diukur dengan kadar kemampuan apabila memberi nasihat mengetahui bahwa nasihatnya akan diterima, perintahnya ditaati, dan ia tiddak khawatir dirinya ditmpa hal-hal yang dibencinya. Apabila ia khawatir disakiti, maka ia keluar dari beban kewajiban.
Misalnya ditanyakan berkenaan riwayat dalam shahih al bukhari dimana nabi. Bersabda :
“Apabila salah seorang dari kamu meminta nasihat kepada saudaranya, hendaklah ia menasehatinya.”
Bukankah hadits itu menunjukan bahwa kewajiban menasihati itu tidak bersifat mutlak melainkan terkait dengan permintaan nasihat ? pengertian adamnya syarat dalam hadits ini merupakan alasan mengenai pengkhususan makna dan pengertian umum.
Jawabannya adalah: persyaratan dalam hadits tersebut bisa ditafsirkan bahwa berlakunya bila berkaitan dengan urusan dunia misalnya, mengenai masalah menikahi seorang wanita, bersahabat dengan seseorang, dsb. Sedangkan yang pertama ditafsirkan bahwa keumumannya berlaku apabila berkaitan denga urusan agama yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim.

Prinsip-prinsip dalam Tabligh

1. Mudah
Nabi saw .bersabda dalam hadisnya :


 Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan membuat orang lari (menjauh).” H.Muttafaq alaih dari Imam Anas.(Fathul Bari :221)
            Hadis di atas merupakan salah satu pesan Nabi kepada dua utusannya: Abu Musa Al-asy’ary dan Mu’adz bin Jabal ketika hendak berangkat ke Yaman menunaikan misi dakwah yang ditugaskan Rasulullah kepadanya. Dalam hadis itu terdapat pesan yang mengisyaratkan bahwa tabligh seyogyanya diupayakan supaya mudah diterima dan cepat dimengerti, serta tidak membosankan. tabligh yang membuat fikiran orang jadi sulit adalah bertentangan dengan prinsif kemudahan. Kata “yassiru” dalam hadis di atas  dapat diartikan memberikan kemudahan baik  dalam penyapaian materi ataupun dalam isinya, sehingga orang tidak cepat jenuh. Sedangkan kata “la tu’assiru”adalah kebalikannya, yaitu menunjukkan tidak bolehnya mempersulit dalam segala hal. Diantaranya dalam materi seyogyanya Mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti. Sebab tabligh bertujuan untuk dimengerti dan dihayati lalu diamalkan orang-perorangan dan masyarakat luas.
Disamping itu, seorang muballig diharapkan bisa menciptakan suasana gembira dengan memberikan berita-berita yang menyenangakan, terkhusus bagi para pemula atau mereka yang baru mengenal Islam. Begitupun dalam pemberian materi hendaklah dilakukan dengan cara bertahap sehingga mudah di cerna dan membuat mereka terdorong untuk terus mendalami Islam dan mengamalkannya. Karena segala sesuatu yang diawali dengan kemudahan akan membuat orang senang dan bekeinginan untuk menelusuriya lebih lanjut. Dari sini jelaslah bahwa dalam pesan tersebut di atas sebenarnya mengandung nilai motivatif (kekuatan pendorong) dan persuasif (dorongan meyakinkan) terhadap orang lain tentang kebenaran yang disampaikan kepadanya. Atas dasar pesan demikian maka pihak-pihak yang menerima pesan akan terbangkitlah dalam dirinya suatu daya rangsang terhadap kebenaran pesan itu dengan sukarela. Situasi dan kondisi demikian baru dapat berkembanga bilamana motivasi terhadap tingkah laku dalam proses tabligh tersebut benar-benar mengenai sasaran. Disini faktor motivasi menjadi penentu bagi berhasilnya proses tabligh.(HM. Arifin,1994 :47)
3. Jelas
            Mengucapkan kata demi kata dengan jelas sangat diperlukan, sebab kemudahan dan kebulatan kalimat tidak akan terserap dengan baik oleh mustami’in (audient) tanpa kejelasan dalam pengucapan. Kata-kata yang tidak jelas apalagi tidak bulat tidak menggambarkan sesuatu yang utuh, yang karenanya masih menimbulkan salah pengertian. Sedang salah pengertian lebih berbahaya dari pada tidak mengerti samasekali. Dalam hubungan inilah berkata Dr. Sun Yat Sen:
            To say is easy
            To do is difficult
            To understand is more difficult
            To make one understand is most difficult
Untuk dapat memberi kemudahan seorang muballigh dituntut agar mampu memberikan uraian atau keterangan sesuai dengan kemampuan daya tangkap audientnya sebagaimana sabda Nabi s.a.w. :

 Berbicaralah kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing.” 
            Perumpamaan-perumpamaan ringan lagi mudah banyak menunjang uraian yang disampaikan. Allah pun dalam kitab suci-Nya Al-Qur’an banyak memberikan perumpamaan-perumpamaan yang nampaknya sepele namun manakala ditafakkuri mempunyai pengertian yang dalam maknanya, diantaranya dalam al-Qur’an disebutkan: “sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau lebih rendah dari itu, Adapun orang-orang yang beriman, maka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan :”Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan ?”. Q.S.:2:26 (Kha Syamsuri Siddiq, 1981 : 39)
Kesimpulan
            Seperti yang telah disinggung dalam pendahuluan, bahwa tabligh merupakan bagian dari metode pendidikan. Hanya saja dalam tabligh tersimpan nilai-nilai Qur’ani, sehingga pendidikan lewat tabligh ini cenderung Islami. Dari sini diharapkan para muballigh yang sekaligus pendidik bisa menanamkan prinsip-prinsip ketauhidan dalam setiap proses pendidikan. Karena hal ini akan memberi nilai tambah  bagi manusia dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup yang benar. Sebaliknya bagi orang yang tidak menjadikan dasar tauhid sebagai dasar pendidikan dalam arti tidak memiliki pegangan hidup yang benar, maka senmakin lamaia memperdalam ilmu, Semakin hilang rasa tempat berpijak.


             


DAFTAR PUSTAKA


Al-Hafidz Ahmad bin “Ali bin Mahzi Al- ‘Asqalani, Fathul Bary, Darul Fikr, Riyadh
Al-Imam Yahya bin Syarafuddin An-Nawawi, Syarh Matn al-Arba’in An-Nawawi, Terjemahan Darul Fikr, Riyadh, Cet. III, 1417/1997
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. 4, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta 1997
H.M. Arifin, Psikologi Dakwah, Bumi Aksara, Jakarta, 1994
Kha Syamsuri Siddiq, Dakwah dan Teknik Berkhutbah, PT Almaarif Bandung,1984
Muhammad Alan Ash-ahiddiqy, Dalil al-falihin.
Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah, Penerbit Wijaya, Jakarta,1992
Yusuf Al-Qoardhawy, Fiqih Daulah dalam Persfektif al-Quran dan Sunnah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta,1997
Zaenuddin Abi Al-Farj Abdurrahman bin Syihabuddin, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Dinamika Berkah Utama, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar