Jumat, 25 November 2011

Filsafat Indonesia




Filsafat Indonesia adalah sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam pelbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli.

Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.

Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Beliau hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktek-praktek asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38). Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ...pemikiran primordial... atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya... (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
Daftar isi
[sembunyikan]

    * 1 Mazhab Pemikiran
          o 1.1 Mazhab Etnik
          o 1.2 Mazhab Cina
          o 1.3 Mazhab India
          o 1.4 Mazhab Islam
          o 1.5 Mazhab Barat
          o 1.6 Mazhab Kristiani
          o 1.7 Mazhab Paska-Soeharto
    * 2 Referensi
          o 2.1 Referensi Bahasa Indonesia
          o 2.2 Referensi dalam Bahasa Inggris
    * 3 Pranala luar
    * 4 Lihat pula

[sunting] Mazhab Pemikiran

Ada 7 (tujuh) mazhab pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategorisasi mazhab didasarkan pada tiga hal: pertama, didasarkan pada segi keaslian yang dikandung suatu mazhab filsafat tertentu (seperti pada 'mazhab etnik'); kedua, pada segi pengaruh yang diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (seperti 'mazhab Cina', 'mazhab India', 'mazhab Islam', 'mazhab Kristiani', dan 'mazhab Barat'), dan ketiga, didasarkan pada kronologi historis (seperti 'mazhab paska-Soeharto'). Berikut ini adalah sketsa mazhab-mazhab pemikiran dalam Filsafat Indonesia dan filsuf-filsuf mereka yang utama.

[sunting] Mazhab Etnik

Mazhab ini mengambil filsafat etnis Indonesia sebagai sumber inspirasinya. Asumsi utamanya ialah mitologi, legenda, cerita rakyat, cara suatu kelompok etnis membangun rumahnya dan menyelenggarakan upacara-upacaranya, sastra yang mereka hasilkan, epik-epik yang mereka tulis, semuanya melandasi bangunan filsafat etnis tersebut. ‘Filsafat’ ini tidak dapat berubah; ia senantiasa sama, dari awal-mula hingga akhir dunia, dan ia senantiasa merupakan ‘Yang Baik’. ‘Filsafat’ ini mengajarkan setiap anggota kelompok etnis tersebut tentang asal-mula lahirnya kelompok etnis itu ke dunia (bahasa Jawa, sangkan) dan tentang tujuan (telos) hidup yang akan dicapai kelompok etnis itu (bahasa Jawa, paran), sehingga anggotanya tidak akan sesat dalam hidup.

Mazhab ini melestarikan filsafat-filsafat etnis Indonesia yang asli, karena filsafat-filsafat itu telah dianut erat oleh anggota etnis sebelum mereka berhubungan dengan tradisi-tradisi filosofis asing yang datang kemudian.

Kebanyakan tokoh mazhab ini berasumsi bahwa orang Indonesia kontemporer berada pada posisi ‘buta’ terhadap nilai-nilai asli mereka. Jakob Sumardjo, misalnya, berpandangan bahwa banyak orang Indonesia sekarang yang …lupa melestarikan nilai-nilai asli mereka… dan …lupa masa-lalu, lupa asal-mula, mereka seperti orang hilang-ingatan… yang …mengabaikan sejarah nasional mereka sendiri… (Sumardjo 2003:23, 25). Akibatnya, mereka ‘terasingkan’; teralienasi dari ‘budaya-budaya ibu mereka’ (Sumardjo 2003:53). Gagalnya kebijakan pendidikan Indonesia, bagi Jakob, disebabkan oleh ‘kebutaan’ terhadap budaya asli Indonesia ini (Sumardjo 2003:58). Karena itu, misi penting dari mazhab filsafat ini ialah menggali, mengingat, dan menghidupkan-kembali nilai-nilai etnis yang asli, karena nilai-nilai merupakan ‘ibu’ (lokalitas adalah ibu manusia), sedangkan manusia ialah ‘bapak’ keberadaan (balita ialah bapak manusia) (Sumardjo 2003:22).

Berikut ini adalah beberapa pandangan filsosofis yang dianut mazhab ini:

    * Adat
    * Mitos asal-mula
    * Pantun
    * Pepatah
    * Struktur sosial adat

[sunting] Mazhab Cina

Para filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migrant-migran Cina antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan Taoisme dan Konfusianisme kepada mereka (Larope 1986:4). Dua filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan (SarDesai 1989:9-13). Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktekkan oleh semua orang Indonesia, adalah ajaran hsiao dari Konghucu (bahasa Indonesia, menghormati orangtua). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orangtuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orangtuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.

Mazhab Cina kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Cina di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. Sun Yat-senisme, Maoisme, dan Neo-maoisme merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Suryadinata 1990:15).

Filsuf-filsuf utama dari mazhab ini, di antara yang lainnya, adalah: Tjoe Bou San, Kwee Hing Tjiat, Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng, dan Tan Ling Djie.

[sunting] Mazhab India

Pembauran atau difusi filsafat-filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum Brahmana Hindu dan penganut Buddhisme dari India antara tahun 322 SM-700 M. Mereka memperkenalkan kultur Hindu dan kultur Buddhis kepada penduduk asli, sementara penduduk asli meresponinya dengan menyintesa dua filsafat India itu menjadi satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan Tantrayana. Ini jelas tercermin pada bangunan Candi Borobudur oleh Dinasti Sailendra pada tahun 800-850 M. (SarDesai, 1989:44-47). Rabindranath Tagore, seorang filsuf India yang mengunjungi Borobudur pertama kalinya, mengakui candi itu sebagai candi yang tidak-India, karena relik-relik yang dipahatkan padanya merepresentasikan pekerja-pekerja lokal yang berbusana gaya Jawa asli. Ia juga mengakui bahwa tarian-tarian asli Jawa yang terilhami dari epik-epik India tidak menyerupai tarian-tarian India, meskipun tarian-tarian dua negeri tersebut bersumber dari sumber yang sama.

Hindu dan Buddhisme—dua filsafat yang saling berlawanan di India—bersama-sama dengan filsafat Jawa asli dapat didamaikan di Indonesia oleh kejeniusan Sambhara Suryawarana, Mpu Prapanca, dan Mpu Tantular.

[sunting] Mazhab Islam

10-abad proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan Sufisme Persia, dan Sufisme mulai mengakar dalam perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya. Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam yang masif di Indonesia (Nasr 1991:262). Raja-raja dan sultan-sultan seperti Sunan Giri, Sunan Gunungjati, Sunan Kudus, Sultan Trenggono, Pakubuwana II, Pakubuwana IV, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah, Engku Haji Muda Raja Abdullah Riau hingga Raja Muhammad Yusuf adalah raja-sufi; mereka mempelajari Sufisme dari guru-guru Sufi terkemuka (Perpustakaan Nasional 2001:12-39).

Sufisme di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok: Ghazalisme dan Ibn Arabisme. Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran Al-Ghazali, sedangkan Ibn Arabisme dari doktrin-doktrin Ibn Arabi. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah seperti Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf Al-Singkeli, Abd al-Shamad Al-Palimbangi, dan Syekh Yusuf Makassar, sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah Hamzah Al-Fansuri, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain (Nasr 1991:282-287).

Wahhabisme-Arab juga pernah diadopsi oleh Raja Pakubuwana IV dan Tuanku Imam Bonjol, yang misi utamanya ialah menghapus Sufisme dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran Quranik (Hamka 1971:62-64).

Di saat Modernisme Islamik, yang memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Pencerahan Barat, dimulai oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani di Mesir tahun 1800-an, maka muslim-muslim di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini nampak jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Haji Abdul Karim Amrullah, Kyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain (Noer 1996:37).

[sunting] Mazhab Barat

Sejak pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan ‘Politik Hati Nurani’ (Politik Etis) di awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feudal, yang hendak bekerja di lembaga-lembaga kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu mengajarkan Filsafat Barat sebagai mata-pelajarannya. Misalnya, Filsafat Pencerahan—filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di Indonesia, setelah 5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak alumni sekolah tersebut yang melanjutkan studi mereka di universitas-universitas Eropa. Mereka lantas muncul sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi pertama intelligentsia bergaya Eropa, yang kelak menganut Filsafat Barat untuk menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.

Filsafat Barat mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan republik Indonesia, konstitusinya serta distribusi kekuasaan (distribution of power), partai politik dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model Barat. Bahkan ideologinya ``Pancasila’’ (tidak seperti yang disombongkan oleh Soekarno atau yang kemudian dimapankan oleh Soeharto), terinspirasi dari ideal-ideal Barat tentang humanisme, demokrasi-sosial, dan sosialisme nasional Nazi Jerman, seperti yang nampak dalam pidato-pidato anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa ‘Indonesia Modern’ dibangun di atas cetak-biru Barat.

Sangat menarik untuk diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan dan situasi Indonesia yang kontemporer dan kongkrit. Misalnya, Soekarno, yang mengadaptasi demokrasi Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feudalistik, sehingga ia menciptakan apa yang kemudian disebut Demokrasi Terpimpin (Soekarno 1963:376). D.N. Aidit dan Tan Malaka mengadaptasikan Marxisme-Leninisme dengan situasi Indonesia (Aidit 1964:i-iv; Tan Malaka 2000:45-56) dan Sutan Syahrir yang mengadaptasikan Demokrasi-Sosial dengan konteks Indonesia (Rae 1993:46).

[sunting] Mazhab Kristiani

Bersama-sama dengan pencarian kapitalis Barat akan koloni-koloni di Timur, Kristianitas mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15 (Lubis 1990:78). Pertama-tama yang datang ialah pedagang-pedagang Portugis, lalu kapitalis-kapitalis Belanda yang berturut-turut menyebarkan Katolikisme dan Kalvinisme. Fransiskus Xavierus, pewarta Katolik pertama dari Spanyol yang menumpang kapal Portugis, menerjemahkan Credo, Confession Generalis, Pater Noster, Ave Maria, Salve Regina, dan Sepuluh Perintah Tuhan ke bahasa Melayu antara tahun 1546 sampai 1547, yang melaluinya Katolikisme dapat disebarluaskan kepada penduduk pribumi (Lubis 1990:85). Gereja-gereja Katolik pun didirikan dan penganut Katolik Indonesia berjejalan, namun tak lama kemudian mereka diusir dan dipaksa untuk pindah ke Kalvinisme oleh penganut-penganut Kalvinis Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun 1596. Gereja-gereja Reformasi Belanda (Dutch Reformed Church) didirikan sebagai gantinya. Jan Pieterszoon Coen, salah seorang Gubernur-Jenderal VOC tahun 1618, adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Beliau mendudukkan semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut Ziekentroosters) di bawah kendalinya (Lubis 1990:99).

Sekolah-sekolah Katolik bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis bergaya Belanda terbuka untuk penduduk Indonesia asli. Tidak hanya diajarkan teologi di dalamnya, tapi juga Filsafat Kristiani (Christian Philosophy). Satu sekolah lalu menjadi beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-universitas swasta Katolik dan Protestan yang mengajarkan ‘’Filsafat Kristiani’’ di dalamnya. Misioner-misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel Master dalam bidang filsafat dari universitas Eropa, berdatangan untuk memberikan kuliah pada universitas Kristiani Indonesia (Hiorth 1987:4). Dari universitas-universitas tersebut keluarlah banyak lulusan yang menguasai ‘’Filsafat Kristiani’’, seperti Nico Syukur Dister, J.B. Banawiratma, Franz Magnis-Suseno, Robert J. Hardawiryana, J.B. Mangunwijaya, TH. Sumartana, Martin Sinaga, dan lain-lain.

[sunting] Mazhab Paska-Soeharto

Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian utama mereka ialah Filsafat Politik, yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai Peristiwa ITB Bandung 1973 dan Peristiwa Malari 1974. Sejak praktek kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktekkan dalam utopia; praksis dan inteleksi dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya penalaran yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktekkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. Pancasila menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat di era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945) (Hidayat 2004:49-55).

Dalam ‘lingkaran setan’ rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak memutuskan mata-rantai lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf paska-Soeharto’, di antaranya seperti: Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang.

Falsafah dan Psikologi





Seperti bidang-bidang sains lain, psikologi berasal sebahagian daripada falsafah. Psikologi yang dikaji secara saintifik bermula pada akhir abad ke 19 dan umur bidang ini adalah lebih kurang 100 tahun; agak muda jika dibanding dengan disiplin-disiplin lain. Tumpuan disiplin psikologi pada awalnya ialah mengkaji dan memahami bagaimana manusia atau organisme mengetahui atau belajar. Kemudian, psikologi terbahagi-bahagi kepada sub-disiplin lain seperti psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi organisasi, psikologi kaunseling dan lain-lain.
Ahli-ahli falsafah telah lama cuba menerangkan apa itu pengetahuan/ilmu, bagaimana manusia menguasai pengetahuan/ilmu atau mengetahui sesuatu dan bagaimana manusia menggunakan pengetahuan itu. Mungkin teori yang tertua berkenaan pengetahuan ialah Teori Salinan (Copy Theory) yang dicadangkan oleh ahli falsafah Yunani Alcmaeon, Empedocles dan Democritus pada abad ke4 & ke5 sebelum masihi. Menurut teoro ini kita melihat sesuatu objek and salinan objek itu terbentuk dalam minda kita. Oleh itu kita mengetahui objek itu melalui salinan yang berada dalam minda kita.
Ahli-ahli falsafah yang datang kemudian menolak teori salinan. Menurut mereka perwakilan (salinan) mungkin tidak merupakan objek asal dan sekiranya kita hanya mengetahui salinan, adalah sukar untuk menentukan bahawa salinan itu adalah tepat. Ahli-ahli falsafah realisme (realism) seperti Thomas Reid menolak konsep salinan dan mencadangkan bahawa kita mengetahui tentang sesuatu objek secara langsung tanpa melalui perwakilan atau salinan. Masalah dengan penerangan ini ialah; jika kita mengetahui sesuatu secara langsung, mengapa kita selalu membuat kesilapan. Contohnya, sesuatu bintik pada lantai kita sangkakan adalah seekor serangga yang sebenarnya adalah titik cat yang tertinggal.
Kemudian terdapat ahli-ahli falsafah idealisme (idealisme) yang menolak sama sekali objek. Bagi mereka apa yang terdapat dalam minda kita ialah idea; semua pengetahuan kita terdiri daripada idea dan bukan perkara atau benda.
Psikologi Awal
Pengasas psikologi moden bermula di Eropah dengan Wilhelm Wundt yang pertama menubuhkan makmal psikologi. Tumpuan psikologi awal ialah mengkaji aspek-aspek sensasi (sensation), persepsi (perception) dan tumpuan. (attention). Hermann Ebbinghaus, seorang Jerman, merupakan ahli psikologi yang pertama mengkaji pembelajaran secara saintifik.  Pada tahun 1879, dia menggunakan dirinya sendiri sebagai subjek dalam eksperimen yang mengkaji pembelajaran dan ingatan.
Beliaulah yang memperkenalkan ujian 'kaitan bebas' (free association) yang menguji kaitan antara perkataan yang diberikan oleh penyelidik dan perkataan yang perkataan yang berikan oleh subjek. "Nyatakan perkataan pertama yang muncul dalam minda kamu apabila saya mengatakan _______ ".  Jadi tujuan psikologi ialah untuk mengkaji bagaimana manusia membuat perkaitan antara perkataan atau idea.
Ebbinghaus juga terkenal dengan eksperimen yang menunjukkan fenomena ingatan dikalangan manusia. Dalam tahun 1885, dia menjalankan satu eskperimen yang menunjukkan bahawa kadar lupaan lebih ketara pada permulaan (55% selepas 1 jam) dan berkurangan seterusnya (14% selepas 31 hari).

Apakah itu Psikologi?
'Psikologi' didefinisikan sebagai kajian saintifik tentang tingkahlaku dan proses mental organisme. Tiga idea penting dalam definisi ini ialah; 'saintifik', 'tingkahlaku' dan 'proses mental'.

Saintifik bermakna kajian yang dilakukan dan data yang dikumpulkan mengikuti prosedur yang sistematik. Iaitu, dengan mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Nyatakan masalah & tentukan hipotesis yang hendak dikaji
2. Reka bentuk kajian & tentukan teknik pengumpulan data
3. Pengumpulan data & melakukan analysis data
4. Melaporkan penemuan untuk memastikan sejauh manakan hipotiesis dapat dibuktikan.
Walau pun kaedah saintifik diikuti, ahli-ahli psikologi perlu membuat pelbagai inferen atau tafsiran berdasarkan dapatan yang diperolehi. Ini adalah kerana subjek yang dikaji adalah haiwan dan manusia dan tidak seperti sesuatu sel (sperti dalam kajian biologi) atau bahan kimia (seperti dalam kajian kimia) yang secara perbandingan lebih stabil. Manakala mengkaji tingkahlaku haiwan atau manusia memenanglah sukar dan memerlukan kerap membuat inferen atau tafsiran.



Tingkahlaku ialah apa jua aktiviti yang dapat diperhatikan, direkod dan diukur. Tingkahlaku juga dapat diperhatikan apabila individu menyebut atau menulis sesuatu. Misal kata, catatan seorang tentang ketakutannya atau sikapnya merupakan tingkahlaku.

Proses Mental merangkumi segala proses-proses yang terlibat dengan pemikiran, ingatan, pembelajaran, sikap, emosi dan sebagainya. Inilah menjadi tumpuan ahli-ahli psikologi tetapi masalahnya ialah proses-proses ini tidak boleh dilihat dan sukar merekod dan mengukur dengan tepat. Oleh pada pada tahun 60an, ahli-ahli enggan menerima kajian mengenai proses-proses ini kerana ia tidak boleh dijalankan secara saintifik. Bagaimana pun paradigma telah berubah dan dengan kaedah-kaedah baru, kajian mengenai proses-proses mental diterima sebagai psikologi.

Apakah itu Pembelajaran?
Setiap detik masa kita belajar. Misalnya, kita belajar tentang iklan yang kita baru tonton, memiliki perasaan terhadap seseorang, kita kecewa dengan sesuatu perbuatan dan sebagainya. Pembelajaran berlaku melalui kelima-lima deria kita:
Penglihatan: melihat ('visual') kejadian sesuatu peristiwa
Pendengaran: mendengar ('auditory') sesuatu bunyi
Bau: Bau ('olfactory') makanan membuat kita merasa lapar
Rasa: Lidah kita merasa ('taste') dan dapat membezakan antara masin dan masam.
Sentuhan: Kulit kita merasa sentuhan ('tactile') dan dapat membezakan antara permukaan licin dan permukaan kasar.
Pembelajaran tidak semestinya melibatkan penguasaan fakta atau konsep sesuatu bidang ilmu tetapi juga melibatkan perasaan-perasaan yang berkaitan dengan emosi, kasih sayang, benci, hasrat dengki dan kerohanian.
Pembelajaran tidak terbatas kepada apa yang kita rancangakan sahaja, tetapi jua melibatkan pengalaman yang luar kawalan kita, seperti peristiwa kemalangan atau seorang yang jatuh cinta pada pandangan pertama (Love at first sight!).  Pembelajaran adalah minat ramai orang; ibubapa, guru, majikan mahu pun pihak kerajaan. Oleh itu psikologi pembelajaran telah muncul sebagai satu-satunya tumpuan yang mengkaji mengapa, bila dan bagaimana  pembelajaran berlaku bagai sesuatu organisme. Semua organisme mempunyai kapasiti untuk belajar selagi organisme itu mempunai otak.
Secara umum pembelajaran disifatkan sebagai suatu proses perubahan yang berlaku akhibat daripada pengalaman individu berkenaan. Tumpuan perhatian ahli psikologi ialah mengkaji bagaimana, mengapa dan bila proses pembelajaran berlaku. Contohnya, bagaimana seekor anjing datang ke mari apabila dipanggil namanya. Manusia mempamerkan pelbagai tingkahlaku dan agak sukar untuk menentukan bagaimana tingkahlaku itu dipelajari. Ahli-ahli psikologi ingin mengetahui prinsip-prinsip umum yang menerangkan pembelajaran.

Estetika dan Keindahan



Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan.(Encarta Encyclopedia 2001, 1999)
Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.

Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu ‘indah’ dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Terhadap hal ini, tugas tugas yang diberikan pada perkuliahan Nirmana 3 Dimensi adalah bentuk bentuk yang memiliki nilai betul, walaupun pada beberapa tugas tertentu sebagian siswa dapat mencapai nilai indah.
Banyak pemikir Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood.(Sutrisno,1993)

Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi dari estetika sendiri, salah satu definisi yang cukup lengkap diberikan oleh Hospers,
"aesthetics is the branch of philosophy that is concerned with the analysis of concepts and the solutions of problems that arise when one contemplates aesthetic objects. Aesthetic objects, in turn, comprise all the objects of aesthetic experience; thus, it is only after aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects"( Sutrisno,1993. Hal 16)


Jika mengacu pada pendapat Hospers, maka diperlukan satu sikap khusus bagi seseorang agar dapat mencari pengalaman estetik, termasuk pengamatan objek estetik ataupun penciptaan objek estetik itu sendiri.
Dalam kajian filsafat, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi menjadi dua pendekatan yaitu,
1. Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda atau alam indah serta karya Seni.
2. Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh pengamat ( pengalaman keindahan yang dialami seseorang). ( Sutrisno, hal 81)

Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. (Sutrisno, hal 82)

Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.

Ketika peradaban Mesir menghasilkan banyak objek yang kita sebut hari ini sebagai indah, kata keindahan secara nyata tidak pernah hadir pada tulisan tulisan saat itu.
Di Mesir, ahli bangunan dan pematung/seniman menggunakan teori proporsi yang berkaitan dengan rumus-rumus matematik untuk mencapai keindahan, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan sistem proporsi seperti yang kemudian dipergunakan secara luas.

Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat). (www.uiah.fi)


Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". (www.uiah.fi)
Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik.
Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.(www.uiah.fi)

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia.(Sutrisno,1993,hal 34)

Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.

Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. (Sutrisno,hal 34)
Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen ( Yunani ; episteme = pegetahuan ) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'.
Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan ( Yunani ; to kalon ), sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Dari "Timaeus" dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada.
Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan falsafah Pytagoras ( 532 SM ) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain.

Aristoteles (384-322 SM) memiliki kebiasaan untuk memperjelas konsep konsep melalui perhitungan komponen-komponen. Untuk keindahan ( Yunani : kalliste) hal tersebut adalah keberaturan , perulangan ukuran (Yunani : symmetria) dan kepastian.

Dalam pembahasan ilmiah mengenai Seni, dipikirkan bahwa keindahan merupakan bagian dari objek.
Tidak semua filosof jaman antik setuju pada teori keindahan tersebut. Secara kontras, Epicurus menyajikan teori yang berbeda, menetapkan bahwa ketika seseorang merasakan keindahan, perasaan pribadi ( Yunani ; hedone ) dilibatkan. Dalam tulisan Epicurus, ditemukan teori hedonistik yang orisinal, yang mengaitkan pengalaman indah dengan perasaan yang menyenangkan.

Vitruvius, dalam hal ini tampak mengadopsi teori Plato dan Epicurus dan mencoba menggabungkan keduanya dalam teorinya sendiri. Pada kenyataanya, ia sependapat dengan Epicurus yang mengatakan bahwa keindahan sama dengan keanggunan, akan tetapi sensasi keanggunan akan dihasilkan artefak jika telah memiliki proporsi yang benar. Hal ini tidak identik dengan gagasan yang dibawa dari Plato. Vitruvius menulis dalam bukunya instruksi-instruksi praktis bagi rancangan yang memungkinkan seniman mencapai keindahan dalam karya, ia menyajikan teori Desain yang mengikut-sertakan faktor faktor kualitatif, tidak saja faktor konstruktif.
Vitruvius mengatakan bahwa bangunan adalah indah bila rupa penampilan dari pekerjaan menyenangkan, dalam cita-rasa yang baik, dan ketika setiap bagian sesuai dengan proporsi yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tepat, seperti simetri (simetri dalam pengertian 'persetujuan yang tepat antara bagian bagian karya itu sendiri, dan hubungan antara bagian bagian yang berbeda dengan skema umum secara keseluruhan, dalam kesesuaian dengan standar yang terpilih).
Vitruvius, mencetuskan prinsip dasar dari Arsitektur, yaitu :
Keberaturan, Sintaks, Eurythmy, Symmetry, Propriety, Efesiensi. (Fundamental Principles of Architecture)

Selama abad-abad pertengahan, proporsi-proporsi dan perban-dingan-perbandingan ukuran diperhatikan sebagai atribut yang penting bagi keindahan objek-objek.
Renaissance membangkitkan kembali pengkajian dari proporsi Pythagoras yang menggunakan bentuk bentuk geometris melalui perbandingan matematis.

Seorang arsitek besar pada masa Renaissance, Leon Battista Alberti ( 1404 -1472 ), menekankan pada aspek formal dari bangunan dan detailnya, proporsi dan ornamen. Ia menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam karya Seni lukis, Seni pahat dan Arsitektur dari sudut pengolahan materi, untuk mencapai kesatuan dari bagian bagian karya Seni sehingga menjadi utuh. Keindahan (lat. Pulchritrudo) adalah 'harmoni dari semua bagian, dalam bentuk apapun, dipasangkan bersama dalam proporsi dan hubungan yang tepat, sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan, dikurangi atau dirubah, selain untuk bertambah buruk', hal inilah yang dicari melalui bentuk bentuk pada latihan latihan Nirmana Ruang . Hal ini sebagai perkataan bahwa sesuatu supaya menyenangkan harus harmonis, proporsional, dan hubungan antara bagian bagian dari objek tersebut harus seimbang. Dasar yang disusun oleh Alberti kemudian dielaborasi lebih luas sebagai teori Desain Arsitektur oleh generasi generasi berikutnya hingga sekarang, seperti dapat dilihat pada materi tugas Nirmana Ruang di pendidikan Arsitektur dan Desain.( Fundamental Principles of Architecture)

Selanjutnya, dikenal juga Leonardo da Vinci yang secara khusus menyinggung mengenai ketelitian dalam pelaksanaan, hingga unsur terkecil pada satu karya, perlu disempurnakan. Sikap ini kemudian menjadi ciri karya karya abad pertengahan.
Ajaran Leonardo da Vinci dan kemudian Buonarotti Michelanggelo diperdalam dengan studi tentang perspektif geometris serta proporsi tubuh manusia dan studi anatomi.

Mayoritas peneliti yang membahas keindahan akhirnya mengadopsi pandangan bahwa cita rasa keindahan bukanlah semata berasal dari sifat-sifat objek saja, akan tetapi juga tergantung pada kondisi pengamat dan lingkungan.

Kajian mengenai keindahan sebagai kualitas objek Seni telah dilanjutkan lebih sistematis dalam pendekatan modern tahun 1928 ketika matematikawan Amerika George David Birkhoff mempresentasikan persamaannya;
M = O / C
Nilai keindahan = hasil dari keberaturan dibagi kompleksitas
M = ( measure )Nilai keindahan
O = ( order )Keberaturan
C = ( complexity )Kompleksitas

Dua elemen terakhir dari persamaan Birkhoff memang dapat dihitung dan diberi angka. Seperti yang dipakai oleh Birkhoff sendiri, dimana ia menguji persamaannya pada suatu vas bunga, dengan jumlah elemen yang terbatas ( hanya terdiri dari tiga garis lengkung), tingkat keberaturan yang rendah (disusun secara simetris saja), maka nilai keindahan dari vas menjadi tidak tinggi ( angka kecil dibagi tiga ).

Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai.
Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikaitkan dengan parameter Birkhoff.

Pada saat ini, "mainstream" dari penelitian estetika lebih melihat keindahan bukan sebagai sifat dari objek itu sendiri, tetapi sebagai hasil sensasi atau interaksi antara persepsi dan obyek.
Masalah keindahan ternyata kadang kadang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti lukisan lukisan geometris Islam yang dipengaruhi oleh ajaran yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.

Persepsi karya Seni sebagai kesenangan indra tidak sesuai dengan filosofi gereja kristen muda. Definisi keindahan sebagai sesuatu yang layak dikaji telah ada dalam Kitab Injil , dikarenakan tekanan Gereja hal ini tidak dapat berkembang. Baru setelah jaman Renaissance, teoritikus Arsitektur pertama yang menonjol, Philibert de l'Orme ( sekitar 1510 - 1570 ) mempengaruhi perkembangan yang memunculkan psikologi modern dari persepsi.

Philibert de l'Orme tidak mempercayai keindahan berdasarkan proporsi-proporsi saja, setelah ia membuktikan melalui pengukuran bahwa Panthenon memiliki kolom kolom Corinthian yang dirancang dengan tiga sistem proporsi yang berbeda ( menentang hukum Vitruvian yang mengizinkan hanya satu set proporsi ). Ia menyimpulkan bahwa dimensi yang layak untuk kolom bergantung pada seberapa tinggi kolom tersebut, dan posisi kolom itu, apakah di letakan rendah atau tinggi dalam struktur bangunan. Hal ini memberi pengertian bahwa keindahan kolom tidak bergantung pada bentuk aktual dari kolom itu sendiri, melainkan hanya merupakan impresi akhir seseorang ketika melihat kolom tersebut.(Www.uiah.fi)
Hal ini mendorong de l'Orme untuk menambah model model baru daftar model kolom tradisional mengenai keberaturan sebuah rancangan.

Pemikiran Philibert de l'Orme selanjutnya dikembangkan oleh rekan senegaranya, Claude Perrault (1613 - 1688) dan diekspresikan secara khusus dalam ulasannya berupa terjemahan ke bahasa Perancis mengenai Vitruvius pada tahun 1673. Perrault menyatakan dalam ulasan tersebut bahwa keindahan tidaklah absolut (beauté positive ); melainkan, pengetahuan tentang keindahan diperoleh melalui kebiasaan atau belajar (beauté arbitraire). (Www.uiah.fi)

Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.

Inisiatif Baumgarten tidak dengan segera memunculkan teori yang meyakinkan. Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant ( 1724 - 1804 ), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya "Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa “keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah".
Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan. (Www.uiah.fi)
Pada tahun-tahun selanjutnya, kajian Fechner berkembang menjadi cabang penting dari sains, yaitu psikologi persepsi. Contoh penelitian Arsitektur yang dipengaruhi oleh jiwa psikologi persepsi adalah "Arkitekturens uttrycksmedel" oleh Sven Hesselgren (1954). Buku tersebut dipengaruhi oleh contoh J.S. Siréns ( Finnish Professor pada arsitekture, 1889 - 1961 ) pengajar bentuk :
'resep untuk membuat keindahan tidak dapat selalu ditemukan, akan tetapi dengan menganalisanya, kita dapat menentukan penyebab terjadinya perbedaan impresi, keaslian dan sumbernya, dan kemudian menjadikan Arsitektur lebih mudah, yaitu ketika desainer menjadi lebih sadar terhadap sifat kreasinya dan faktor faktor yang mengarahkan pada hasil'.

J.S. Siréns menerangkan bahwa sebuah pola atau figur dapat menyenangkan mata bila dengan mudah dapat dimengerti, dan ini selanjutnya memberikan kepuasan. Perancang tidak boleh menimbulkan ketidak jelasan pada pengamat. Ia menemukan dasar dasar yang bersifat psikologis bagi sejumlah hukum arsitektural, sebagai contoh dasar mengenai kontras. (Www.uiah.fi)

Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan .... kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. (Www.uiah.fi)

Penelitian dalam psikologi persepsi dan estetika dikembangkan secara khusus sebagai ilmu yang dikenal sebagai art psycology.
Psikologi persepsi berkembang dari psikologi tradisional dimana manusia dan lingkungan merupakan elemen dasar dan saling mempengaruhi satu sama lain melalui stimuli dan respon.

Sekolah psikologi behaviorisme mempertimbangkan apakah ada kemungkinan untuk mendapatkan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan "Apa yang terjadi pada kesadaran dan kognisi manusia dalam jangka waktu antara diterimanya stimuli dan memberikan respon ? ", karena kandungan dan fungsi dari kesadaran tidak dapat dikaji secara tepat tanpa mencampuri keduanya.

Teoritikus psikologi kognitif memiliki pandangan berbeda;, model hipotesis dari fungsi kesadaran diuraikan dengan sangat detail. Model tipikal disajikan oleh Matti Syvänen, 1985.
Pada awalnya, banyak peneliti yang masih membagi persepsi pada tiga fase yaitu, persepsi - kognisi - intrepretasi dan evaluasi. Hal ini berbeda dengan pandangan umum pada saat ini, bahwa pada satu tahapan terdapat aspek aspek yang berbeda, sehingga garis stimuli-respon-tindakan tidak bersifat linier.

Outline membantu asosiasi agar terjadi proses persepsi. Konsep outline (Jerman;Gestalt) pertama kali disajikan dalam ilmu psikologi oleh Christian von Ehrenfels pada tahun 1890. Ia mengarahkan perhatiannya pada kenyataan bahwa untuk mengerti sebuah komposisi, keseluruhan outline lebih penting daripada bagian. Jika urutan komposisi diubah menjadi susunan baru, semua komposisi akan menjadi sesuatu yang lain tetapi keseluruhan outline dari komposisi tersebut tetap sama. (Www.uiah.fi)

Ketika seniman sedang menarik outline, bagian bawah sadar ternyata mematuhi aturan aturan tertentu, yang dikenal dengan hukum-hukum Gestalt. Sebagai contoh, ketika manusia melihat sebuah figur yang tidak sempurna, akan dilengkapi menjadi figur yang dapat dikenal (asosiasi). Manusia cenderung untuk melengkapi bagian bagian yang tidak lengkap berdasarkan kemiripan gambaran dalam memorinya.
Tanda tanda yang dekat satu sama lain cenderung bergabung dalam pikiran untuk membuat kesatuan yang lebih besar. Jika terdapat kemiripan pada beberapa tanda, maka tanda-tanda tersebut akan saling bergabung membentuk satu kesatuan.

Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut pandang dan sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian pada abad pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi.

Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.

Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
1. Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
2. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik