Rabu, 16 November 2011

Esensi Ajaran Islam tentang Kemasyarakatan





1.     Pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadi manusia dan kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tiada sesuatupun yang berharga selain kemerdekaan itu.
2.     Di sisi lain, kehidupan manusia secara fitri bersifat kemasyarakatan yang hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Kebutuhan, keuntungan, kepuasan, karya dan kegiatan manusia tidak mungkin terpenuhi dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya dalam suatu perangkat tradisi dan sistem tertentu.
3.     Masyarakat merupakan senyawa sejati, sebagaimana senyawa ilmiah, yang bersintesis dalam kebudayaan, bukan kefisikan. Sedangkan yang disintesis adalah jiwa, pikiran dan hasrat manusia yang memasuki kehidupan bermasyarakat. Dengan karunia-karunia yang diperoleh dari alam dan kemampuan-kemampuan bawaan mereka, secara kejiwaan melebur untuk mendapatkan suatu identitas baru, yaitu jiwa kemasyarakatan. Sintesis ini bersifat alamiah, unik dan khas. Unsur unsur individu dan masyarakat saling mempengaruhi dan diubah oleh pengaruh timbal balik untuk mendapakan suatu kepribadian baru.
4.     Namun, suatu bentuk dan identitas baru ini tidak mengubah kejamakan perseorangan menjadi suatu ketunggalan. Sintesis tidak menjadikan manusia tunggal, suatu entitas kefisikan yang di dalamnya seluruh inividu terlebur secara fisikal. Masyarakat yang diartikan sebagai suatu entitas tunggal kefisikan hanyalah sebuah abstraksi rekaan. Individu yang merupakan salah satu unsur pembentuk masyarakat – selain alam dan sistem sebagai ikatan kemanusiaan – tetap merdeka dalam berfikir dan berkehendak secara perseorangan. Keberadaan individu mendahului masyarakatnya.
5.     Pertanggungjawaban individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, pelaku (sebab-aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab-akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, berupa saran dan peluang yang diberikan untuk terjadinya tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Untuk itu, ia menjadi catatan amal suatu bangsa di hari akhir.
6.     Tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Mahakuasa, dan tak seorang pun yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya. Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga. Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak siapapun dan apapun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah harus berasal dari Dia atau paling tidak sesuai dengan hukum-hukum-Nya.
7.     Islam tidak hanya menekankan pentingnya kehidupan sosial, bahkan menganggap perhatian pada permasalahan sosial dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban. Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa besar.
8.     Agar tercipta keteraturan sosial, diperlukan suatu hukum dalam kehidupan sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya peraturan dan ketentuan sosial. Tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial.
9.     Dalam perpsektif Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan spiritual. Bahkan jika suatu hukum bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika hukum tersebut diterima oleh mayoritas.
10.  Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri, atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas hukum tersebut.
11.  Dari sudut pandang Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang sia-sia.
12.  Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu. Tentu saja, hukum-hukum sosial yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan waktu melainkan sekadar memberikan kerangka umum yang bisa menjadi sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu dan tempat.
13.  Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain, membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah.
14.  Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua, kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk menerapkan hukum secara salah. Dalam termonologi religius, orang seperti ini disebut sebagai maksum (terjaga dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad saw.
15.  Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para nabi tidak ada orang lain yang secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah. Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin menyerupai para nabi, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah manusia sempurna (insan kamil).[]

Makalah ini merupakan sebagian dari bahan rekonstruksi NDP. Disampaikan pada Intermediate Training Tingkat Nasional HMI Cabang Ciamis, 9 Juli 2005. Penulis adalah Ketua PBHMI Bidang Pembinaan Anggota (2004-2005) dan MAULA (Masyarakat Universal Lintas Agama) (sejak 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar