Rabu, 16 November 2011

Globalisasi dan Nasib Negara-Bangsa





The bourgeoisie, by the rapid improvement of all instruments of production, by the immensely facilitated means of communication, draws all nations, even the most barbarian, into civilization…. It compels all nations, on pain of extinction, to adopt the bourgeois mode of production; it compels them to introduce what it calls civilization into their midst, i.e., to become a bourgeois themselves. In a word, it creates a world after its own image.
(Marx, 1952: 421).
 
Istilah 'globalisasi' memiliki beragam 'definisi', meskipun secara umum sering dikaitkan dengan 'ketersambungan antar-individu dan masyarakat secara global, baik di bidang ekonomi, politik dan sosial-budaya.' Di dalam beberapa literatur mengenai globalisasi, misalnya dari pendekatan 'kapitalisme global'[1], 'ketersambungan global' ini berbeda dengan 'ketersambungan inter-nasional,' karena di dalam yang pertama 'ketersambungan atau sistem relasi sosial' tidak lagi didasarkan atas sistem negara-bangsa, sementara di dalam yang kedua, ketersambungan sosial masih didasarkan pada sistem negara-bangsa. (Sklair, 1999: 144-146, 156). Pemahaman yang pertama juga ditandai dengan ditolaknya dualisme global-nasional, karena sebagian besar 'negara-bangsa' dianggap sudah menjadi 'transnasional.' (Robinson, 1998). Meskipun demikian tidak semuanya berpandangan bahwa realitas kontemporer sudah sedemikian 'universal'. Wood misalnya menyatakan bahwa kapitalisme global masih memiliki 'konstituen nasionalnya'. (Wood, 1999).
 
Perdebatan di atas, yang sangat terkait dengan masalah pendefinisian 'globalisasi' —apakah 'globalisasi,' yang merepresentasikan realitas kontemporer ini sudah sedemikian 'global,' sehingga sudah mentransendensikan yang 'nasional', ataukah ia hanya bersifat 'inter-nasional'? — pada hakikatnya adalah perdebatan mengenai situasi negara-bangsa pada masa globalisasi-kontemporer ini. Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah apakah globalisasi sudah 'memerosotkan' negara-bangsa dan merubahnya menjadi 'transnasional,' ataukah globalisasi masih ditopang oleh relasi antar negara-bangsa? Adapun tulisan ini hendak menyinggung dan sedikit memberikan evaluasi terhadap perdebatan tersebut, tanpa berpretensi untuk menyelesaikannya. Meskipun demikian, tidak dapat dihindari adanya suatu 'kecenderungan-keberpihakan' dari penulis terhadap salah satu kubu di dalam perdebatan tersebut.
Kapitalisme, Globalisasi dan Negara-Bangsa: Beberapa Perdebatan
Pertumbuhan negara-bangsa memang terkait erat dengan pertumbuhan kapitalisme. Menurut Wood, yang berasal dari kubu 'inter-nasional', kapitalisme tumbuh bukan karena kemajuan teknologi, urbanisasi atau ekspansi perdagangan. Kapitalisme tumbuh pertama kali di Inggris, karena di sana sudah terdapat sebuah negara yang kuat dan tersentralisir. Negara yang kuat ini menyebabkan adanya sebuah ekonomi nasional, dengan pasar nasional yang terintegrasi dan kompetitif. Dalam negara itu, terdapat suatu pembagian kerja di antara kekuasaan ekonomi dan politik, di antara negara kerajaan dan kelas bangsawan yang berkuasa, sehingga para tuan tanah Inggris lebih bergantung kepada eksploitasi ekonomi yang murni—mengintensifkan tenaga kerja yang ada untuk meningkatkan produktivitas—walaupun juga bergantung kepada negara untuk memelihara keseluruhan sistem kepemilikan yang ada. (Wood, 1999).
Berbeda dengan Inggris, negara-negara Eropa lainnya, memiliki negara yang terfragmentasi, antara kekuatan politik, militer dan hukum, sehingga tidak memiliki sebuah pasar nasional—malah sebaliknya terdiri dari pasar-pasar kotapraja, yang mengambil surplus bukan dari produksi, melainkan dari sirkulasi. Negara-negara itu menjadi kapitalis, karena adanya tekanan dari luar, di mana kapitalisme yang ada di Inggris tidak hanya memberikan keuntungan dalam persaingan komersial, tetapi juga dalam konflik militer, sehingga hal ini menjadi tantangan bagi negara-negara tersebut. Adapun di negara-negara tersebut, negara, sekalipun masih mengikuti logika pra-kapitalis, tetap memainkan peran yang utama di dalam transisi menuju kapitalisme. (Wood, 1999).
 
Serupa dengan Wood, Robinson, yang berasal dari kubu 'global', juga menyatakan bahwa kapitalisme  pada masa sebelumnya, berkembang melalui 'negara bangsa'. Masing-masing negara bangsa dihubungkan satu sama lain melalui pertukaran komoditas dan arus modal di dalam sebuah pasar inter-nasional. Cara produksi yang berbeda-beda masih bisa diartikulasikan di dalam sistem dunia ini. Di sini negara nasional masih memiliki suatu tingkat otonomi untuk mengintervensi tahap distribusi dan mengalihkan surplus melalui institusi negara-bangsa. Pembentukan kelas dan perjuangan kelas terjadi melalui negara-bangsa, untuk mendapatkan bagian dari surplus yang ada. Terjadi suatu 'gerakan ganda', di mana pengembangan 'pasar yang bebas' oleh kapitalisme, yang merusak ikatan-ikatan dan institusi-institusi sosial yang memungkinkan kehidupan individual dan reproduksi sosial, berhadapan dengan pergolakan sosial yang memaksakan suatu bentuk pengaturan sosial, untuk mengurangi  efek merusak dari kapitalisme. Kapitalisme pada akhirnya berkompromi dengan kelas-kelas yang marjinal, karena ia menghadapi serangkaian rintangan yang terkait dengan batasan-batasan teritorial, institusional, dsb., yang berhubungan dengan sistem negara-bangsa. Hasilnya adalah suatu bentuk negara sosial-demokrasi, Keynesian atau 'New Deal', serta produksi Fordis di negara-negara pusat, dan negara-negara pembangunan serta proyek-proyek kerakyatan (Fordisme pinggiran) di negara-negara pinggiran. (Robinson, 1998).
 
Perbedaan antara kubu 'inter-nasional' dan kubu 'global' terjadi ketika mereka membahas perkembangan kontemporer dari kapitalisme, yang sering diistilahkan dengan 'globalisasi'. Wood, yang mewakili kubu 'inter-nasional', menolak tesis 'kemerosotan negara-bangsa' dengan menyatakan bahwa globalisasi pada hakikatnya adalah sebuah fenomena ekonomi nasional dan negara nasional, suatu 'sistem global' dari negara-bangsa yang dipimpin oleh negara-bangsa-negara-bangsa yang superpower dan hegemonik, serta belum terjadi perpindahan kekuasaan dari negara-bangsa ke institusi-institusi atau modal transnasional. Masih terdapat ekonomi nasional, negara nasional, modal nasional, kelas-kelas sosial yang bersifat nasional, dan bahkan institusi-institusi transnasional yang bersifat nasional—untuk yang terakhir Wood memberikan contoh IMF atau Bank Dunia yang menurutnya merupakan agen modal nasional dari negara-negara imperialis. Baginya, sulit untuk memahami globalisasi tanpa mempertimbangkan kompetisi di antara ekonomi-ekonomi nasional dan negara yang mempromosikan 'daya saing internasional', memelihara atau mengembalikan profitabilitas dari modal domestik, mempromosikan pergerakan bebas dari modal sementara tetap mengurung tenaga kerja di dalam batas-batas negara, agar bisa didisiplinkan oleh negara, menciptakan dan memelihara pasar global, dsb., termasuk kebijakan-kebijakan nasional yang menembus batas-batas kedaulatan nasional. Menurut Wood, kata-kata Marx bahwa kapitalis tidak memiliki kebangsaan, mempunyai arti bahwa kapitalis tidak memiliki loyalitas nasional, dan bukan berarti bahwa kapitalis tidak memiliki akar nasional atau kebutuhan akan negara, terutama negara-bangsa mereka sendiri. (Wood, 1999).
 
Sementara itu, Robinson, yang mewakili kubu 'global' menyatakan bahwa kebanyakan 'negara-bangsa' sudah mulai tertransformasikan menjadi sebuah 'negara transnasional'. Kegagalan banyak pihak untuk memahami hal ini, menurut Robinson, disebabkan oleh karena mereka memahami negara sebagai 'sesuatu yang statis'—berawal dari pandangan yang memisahkan bidang politik dengan bidang ekonomi, sehingga 'dinamika' di bidang ekonomi tidak akan berpengaruh terhadap bidang politik yang 'statis'—padahal negara terdiri dari sesuatu yang 'dinamis'. Ia pun kemudian mengusulkan untuk melihat negara dari perspektif materialisme historis Marxis, di mana negara dipandang sebagai institusionalisasi hubungan kelas dan praktek sosial yang menyertainya. Berpijak dari pandangan inilah, ia mengusulkan konsep 'negara transnasional', dengan argumen: karena kapitalisme sudah 'meng-global' dan hubungan kelas serta praktek sosial yang mengikutinya sudah bersifat 'transnasional', maka negara, sebagai institusionalisasi relasi kelas, juga menjadi transnasional. Negara sebagai sebuah institusi tidak lenyap, tetapi merubah fungisnya menjadi memelihara, melindungi dan memajukan hegemoni kelas borjuis global dan proyeknya untuk menciptakan sebuah blok historis kapitalis global yang baru. Adapun proses transnasionalisasi ini tidak harus selalu disebabkan oleh 'paksaan dari luar', karena proses ini juga menjadi strategi dari kelompok-kelompok lokal yang dominan, meskipun di dalam proses ini, faksi kelas kapitalis transnasional bisa saja berkonflik dengan faksi kelas kapitalis yang masih berorientasi 'nasional'. (Robinson, 1998).
 
Sedikit Evaluasi
Validitas dari pandangan 'inter-nasional' maupun pandangan 'global' tentang negara tentu saja masih memerlukan pembuktian empiris. Meskipun demikian, menurut penulis, kedua pandangan itu secara konseptual memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Pertama, untuk pandangan 'inter-nasional' dari Wood, yang menjadi masalah sebenarnya adalah ketidakjelasan dari apa yang disebutnya sebagai 'modal nasional' (national capital atau nationally based capital) atau kelas kapitalis nasional yang disejajarkannya dengan 'ekonomi nasional,' dsb. Apabila ia hanya merujuk kepada 'akar nasional' dalam artian 'lokasi domisili', dan bukan 'orientasi'—karena ia mengakui bahwa modal tidak memiliki 'loyalitas' yang bersifat kebangsaan—maka sebenarnya 'modal atau kelas kapitalis nasional' itu tidak ada bedanya dengan 'modal dan kelas kapitalis transnasional' versi aliran 'global.'[2] Lagipula, menurut Sklair, banyak perusahaan sekarang ini yang sulit untuk ditentukan lokasinya, seperti Unilever dan Royal Dutch Shell yang berdomisili baik di Belanda maupun Inggris. (Sklair, 1998: 6). Kedua, masih untuk pandangan 'inter-nasional' dari Wood, kebanyakan kebijakan 'negara nasional' yang disebutnya, seperti menciptakan dan memelihara pasar global, dsb., sebenarnya adalah kebijakan yang sudah bersifat 'transnasional,'[3]  sehingga kurang tepat apabila ditampilkan sebagai bukti bahwa 'negara-bangsa' masih bertahan. Ketiga, untuk pandangan 'global' dari Robinson, yang menjadi masalah adalah sifat 'instrumental' yang diatribusikan Robinson kepada 'negara transnasional', yaitu sebagai 'alat dari kelas kapitalis global'. Padahal kita tahu bahwa sampai sekarang ini, negara masih mendapatkan sebagian legitimasinya dari warganegaranya, sehingga ia masih harus menjalankan 'fungsi umumnya' untuk mengakomodir 'kepentingan dan kebutuhan' warganegaranya, setidak-tidaknya kebutuhan dan kepentingan yang paling minimal—yang bisa saja bertentangan dengan kepentingan kelas kapitalis global—, apabila ia masih mau mendapatkan dan mempertahankan legitimasinya. Sulit membayangkan adanya suatu 'negara yang murni transnasional', kecuali apabila 'identitas kewarganegaraan' yang sampai sekarang masih didasarkan atas 'negara-bangsa,' sudah benar-benar lenyap, sehingga legitimasi negara sama sekali tidak memerlukan 'warganegara'.
Mungkin akan ada pertanyaan: 'bukankah negara, dalam rangka menjadikan dirinya 'murni transnasional', dapat mem-bypass 'fungsi umumnya' dan menggunakan fungsi hegemonik serta represifnya, untuk 'meredam' aspirasi warganegaranya? Memang benar bahwa negara harus memainkan kedua fungsi hegemoni dan represi itu secara bergantian untuk dapat mempertahankan stabilitas di wilayah kekuasaannya. Tetapi itu bukan berarti bahwa pemerintah dapat sepenuhnya mem-bypass 'fungsi umumnya,' untuk mengakomodir kebutuhan dan kepentingan warganegaranya. Hegemoni, dengan merujuk ke Gramsci, tidak dapat berjalan, apabila suatu kelas atau kelompok sosial tidak melampaui batas-batas kepentingannya sendiri dan memperhatikan kepentingan kelas atau kelompok lain. (Lihat Simon, 1999, bab II). Ini berarti bahwa untuk melakukan hegemoni, negara, seminimal mungkin, harus menjalankan 'fungsi umumnya,' atau dengan kata lain pemenuhan kebutuhan dan kepentingan warganegara, setidak-tidaknya kebutuhan dan kepetingan yang paling minimal, adalah bagian dari strategi hegemoni itu sendiri. Adapun strategi represif, tidak dapat dijalankan secara terus-menerus oleh negara, karena strategi ini memiliki resiko melahirkan instabilitas.
Dari uraian di atas, dapat kita lihat bahwa negara pada masa kapitalisme kontemporer, di satu sisi, memang sudah memiliki sifat 'transnasional', meskipun ia, di sisi lain, harus tetap menjalankan 'fungsi umumnya' untuk mengakomodir 'kepentingan dan kebutuhan' para warganegaranya, setidak-tidaknya kepentingan dan kebutuhan yang paling minimal, agar ia dapat terus mempertahankan legitimasinya. Di sini negara seringkali berada di dalam situasi yang kontradiktif, apabila kepentingan 'transnasional' yang masuk ke dalam negara berbenturan dengan 'kepentingan atau kebutuhan' warganegaranya. Untuk melihat situasi kontradiksi dari negara itu, ada baiknya kita lihat contoh empiris di bawah ini, yang diambil dari dua kasus yang terjadi di Indonesia pada masa pasca-Orde Baru.
Globalisasi dan Situasi Kontradiksi dari Negara: Contoh Empiris
Semenjak terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, para kapitalis global, yang salah satunya diwakili oleh Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai institusi transnasional, berkali-kali melakukan tekanan terhadap negara Indonesia agar melakukan perubahan-perubahan ekonomi dan politik. Perubahan yang didesakkan oleh IMF ini seringkali berbenturan dengan kepentingan dan kebutuhan warganegara Indonesia, sehingga negara sering berada dalam situasi yang kontradiktif. Di satu sisi ia harus mengikuti 'kemauan' IMF agar mendapat kucuran dana untuk memperbaiki krisis yang memporak-porandakan Indonesia, tapi di sisi lain, ia harus mengakomodir kepentingan dan kebutuhan warganegaranya, agar terus mendapatkan legitimasi dari 'dalam'. Di bawah ini akan kita lihat situasi kontradiksi itu dalam dua kasus yang terjadi pada masa pasca-Orde Baru.
Kasus yang pertama adalah masalah turunnya harga gabah atau beras di pertengahan tahun 2000, yang sebagian besar disebabkan oleh beberapa kebijakan 'structural adjustment' yang 'diminta' oleh IMF. Pertama, pembebasan bea masuk impor beras awal tahun 1998, membuat beras berlimpah di pasaran, sehingga harganya turun. Sebenarnya pada tahun pertama pembebasan bea, serbuan beras yang masuk ke Indonesia masih habis diserap oleh pasar, tapi pada tahun 1999, panen di Indonesia cukup bagus, sehingga hingga akhir tahun, masih ada sekitar 2,5 juta ton beras eks-impor yang belum diserap pasar. Sampai pertengahan tahun 2000, panen padi di Indonesia juga berjalan sukses, sehingga dari produksi lokal saja diperkirakan ada kelebihan sekitar 3 juta ton. Kedua, pembatasan wewenang Bulog dan pemberian kesempatan kepada pelaku bisnis lain untuk turut mengatur tata niaga beras menjadikan kondisi perberasan di Indonesia menjadi tidak keruan. Ketiga, perubahan Bank Indonesia menjadi independen, berpengaruh pada pengucuran kredit saat dibutuhkan petani. Bank Indonesia tidak lagi boleh memberikan kredit, sehingga pemerintah harus menerbitkan surat hutang terlebih dahulu dan meminjam uang ke BI, untuk disalurkan ke KUD atau Bulog. Prosedur yang rumit ini tentu saja menjadi hambatan ketika diperlukan 'langkah yang cepat'. (Dillon, 2000; Tempo, 27 Maret-2 April 2000; Panji Masyarakat, No. 49 Tahun III, 29 Maret 2000).
Apa yang terjadi pada akhirnya adalah turunnya harga beras petani Indonesia. Pada pertengahan tahun 2000 itu, harga gabah berkisar pada Rp700 per kilogram di hampir seluruh daerah di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah di Jawa Tengah pada bulan Maret 2000, dapat ditemukan gabah kering panen (GKP) dengan harga Rp100 atau Rp75 per kilogram, dan gabah kering giling (GKG) dengan harga Rp250 per kilogram. Padahal patokan harga pemerintah untuk GKP adalah Rp1.020-Rp1.095 per kilogram dan untuk GKG adalah Rp1.410. Persoalan ini tentu saja mencekik kehidupan petani di Indonesia, karena menurut perhitungan Menteri Pertanian M. Prakosa, biaya produksi petani rata-rata Rp706 per kilogram. Memang ada petani yang 'kebal' terhadap persoalan ini, yaitu petani beras pandanwangi, yang harga berasnya tetap tinggi, tetapi hal itu hanyalah sebuah pengecualian. Selain, mencekik petani, persoalan ini juga menghancurkan usaha penggilingan padi di sentra-sentra pertanian, karena gabah yang harganya murah itu langsung dibawa tengkulak ke kota untuk diproses di sana. (Tempo, 27 Maret-2 April 2000; Panji Masyarakat, No. 49 Tahun III, 29 Maret 2000).
Di sini posisi pemerintah tentu dilematis. Di satu sisi, ia harus menjadi mengakomodir kepentingan 'transnasional' dari IMF, tapi di sisi lain, ia juga harus mengakomodir kebutuhan sekitar 35 juta konstituennya yang hidup dari sektor pertanian. Pemerintah pada akhirnya mengambil kebijakan menetapkan bea masuk impor untuk beras menjadi Rp430 per kilogram atau 30% dari harga beras impor. Tapi hal ini tidak membawa pengaruh yang besar, karena, menurut Dillon, masih adanya budaya ancient regime di dalam kepengurusan bea cukai, di mana terjadi salah urus dan kolusi-korupsi-nepotisme antara pedagang dan petugas bea cukai, sehingga banyak beras yang 'lolos'. Rencana Menteri Pertanian untuk menaikkan bea masuk beras impor menjadi 50% juga ditolak oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang juga Kepala Bulog, Jusuf Kalla, bersama dengan IMF. Jusuf Kalla menyatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah jumlah bea masuk 30%, karena petani sudah bisa bersaing dengan jumlah bea yang seperti itu, tetapi persoalannya adalah sisa beras yang sudah terlanjur diimpor sebelum bea masuk 30% ditetapkan. Lagipula menurut Kalla, faktor konsumen juga harus diperhatikan. Presiden Abdurrahman Wahid pada akhirnya menggantikan Jusuf Kalla sebagai Kepala Bulog dengan Rizal Ramli. (Dillon, 2000; Tempo, 27 Maret-2 April 2000; Panji Masyarakat, No. 49 Tahun III, 29 Maret 2000).
Kasus yang kedua adalah kenaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tanggal 16 Juni 2000 sebesar 30%. Dengan kenaikkan itu, harga premium naik dari Rp1.150 per liter menjadi Rp1.450 per liter, minyak tanah dari Rp350 per liter menjadi Rp400 per liter, solar dari Rp600 per liter menjadi Rp900 per liter. Adapun untuk industri harga yang dipatok adalah 50% dari harga internasional. Terdapat berbagai alasan dari pemerintah mengapa harga BBM naik. Pertama, adalah agar subsidi tidak membengkak, sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak menjadi defisit lebih besar dari yang ditetapkan, yaitu Rp41,3 trilyun. Kemudian kedua, pemerintah juga menyebutkan alasan bahwa harga BBM yang murah menyebabkan perbedaan antara harga di dalam negeri dengan di luar negeri, sehingga mengakibatkan penyelundupan BBM ke luar negeri semakin marak. Ketiga, harga BBM yang murah menyebabkan penggunaannya menjadi boros dan tdak efisien. Keempat, rendahnya harga membuat pemanfaatan energi lainnya, seperti gas bumi dan panas bumi menjadi tdak berkembang. (Kompas, 6 Juni 2001). Selain itu, alasan penting, yang disebutkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, agak lama sebelum terjadinya kenaikkan harga BBM tersebut, adalah karena 'keterikatan dengan IMF' yang menginginkan subsidi dihapuskan—menunjukkan bahwa kebijakan ini juga merupakan pelaksanaan dari kemauan IMF.[4] Di dalam hal ini Presiden Wahid menyatakan:
"Pemerintah naikin harga itu juga bukan enak. Nggak ada pemerintah ingin naikin apa-apa. Hanya memang kita terikat pada aturan-aturan permainan dari Dana Moneter Internasional atau IMF, tidak boleh ada subsidi" (Suara Merdeka, 19 Mei 2001).
Sebagai kompensasi dari kenaikkan harga BBM, pihak Bappenas telah menyusun program penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi ini, untuk ditujukan kepada masyarakat yang terkena dampak langsung dari kebijakan ini. Dana kompensasi itu berjumlah Rp2,2 trilyun dan program-programnya meliputi OPK beras, kesehatan, pendidikan, transportasi kota, penyediaan air bersih di kawasan rawan air, perkuatan permodalan lembaga keuangan mikro dan pemberdayaan usaha masyarakat pesisir miskin. Walaupun demikian, kompensasi ini tampak tidak dapat meredam 'amarah' masyarakat, terutama pihak jasa angkutan—salah satu program kompensasi itu, yaitu tidak ada kenaikan tarif angkutan, memang merugikan pihak jasa angkutan. Berbagai aksi mogok dan demonstrasi yang melibatkan berbagai pihak dan organisasi terjadi di mana-mana, di Jawa Tengah, Cirebon, Bandung, Lampung, Palembang, Jambi, Kendari, Mataram dan Makasar. Beberapa dari mereka, yang berasal dari pihak angkutan, meminta pemberlakuan tarif angkutan yang baru. (Kompas, 6 Juni 2001; Gamma, No. 18 Tahun III, 20-26 Juni 2001). Sama seperti pada kasus yang pertama, pada kasus kenaikan harga BBM ini, negara berada dalam posisi yang dilematis, antara kepentingan 'transnasional' dan kepentingan 'warganegara', walaupun dalam kasus yang kedua ini, terdapat pula 'kepentingan pemerintah' sendiri yang tampak lebih ketemu dengan kepentingan IMF, yaitu 'menjaga' APBN agar bisa sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Penutup
Pertanyaan tentang apakah negara-bangsa pada masa globalisasi ini sudah 'merosot' dan menjadi 'transnasional,' ataukah bertahan dan menopang globalisasi, memang belum bisa sepenuhnya dijawab di dalam tulisan ini. Meskipun demikian, dari uraian dan kedua contoh di atas, dapat kita lihat adanya kecenderungan bahwa negara memang memiliki 'kebutuhan' untuk menjadi 'transnasional,' meskipun ia juga harus tetap mempertahankan 'fungsi umumnya' yang masih 'berbau' negara-bangsa, yaitu untuk mengakomodir kebutuhan dan kepentingan warganegaranya, setidak-tidaknya kebutuhan dan kepentingan yang paling minimal. 'Fungsi umum' itu masih harus dilakukan oleh negara, karena walau bagaimanapun, negara masih mendapatkan sebagian legitimasinya dari para 'warganegaranya'. Hal ini seringkali membawa negara berada dalam situasi kontradiktif, apabila kepentingan 'transnasional' yang masuk ke dalam negara berbenturan dengan kepentingan para warganegaranya.
 
Apabila keadaan negara-bangsa itu memang demikian adanya, apa kira-kira implikasinya bagi perjuangan kaum marjinal yang paling terkena dampak negatif dari globalisasi? Penulis merasa bahwa sampai saat ini, untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya pragmatis—kebutuhan yang harus dipenuhi dalam jangka waktu dekat—, negara-bangsa masih bisa menjadi suatu contested terrain bagi perjuangan kelas dan kelompok-kelompok yang marjinal, karena untuk sementara waktu ini, negara masih bisa 'mengalihkan surplus' yang ada ke 'warganegaranya'. Meskipun demikian, karena akar permasalahannya adalah bukan pada negara-bangsa, melainkan pada kapitalisme globalnya itu sendiri, maka untuk agenda jangka panjangnya, kelas dan kelompok-kelompok yang marjinal, mau tidak mau, harus membangun suatu gerakan yang global, apabila ia memang mau 'menantang' dan 'mengalahkan' modal yang sudah lebih dulu meng-global.
 
Catatan Kaki
 
[1]. Leslie Sklair mengidentifikasi setidak-tidaknya terdapat empat macam pendekatan terhadap globalisasi, yaitu (1). Pendekatan sistem-dunia; (2). Pendekatan budaya global; (3). Pendekatan masyarakat global, dan (4). Pendekatan kapitalisme global. Leslie Sklair, "Competing Conceptions of Globalization", Journal of World-System Research, V, 2, Musim Semi 1999, hlm. 143-163, diambil dari internet http://csf.colorado.edu/jwsr.
 
[2]. Sklair menyebutkan salah satu ciri dari 'kelas kapitalis transnasional' adalah kepentingan ekonomi yang lebih berorientasi global daripada lokal atau domestik. Menurut penulis, kelas kapitalis yang berdomisili di wilayah yang menjadi 'identitas kebangsaannya secara formal', tetapi kepentingan dan praktek-praktek ekonominya sudah bersifat global, maka ia pun sudah termasuk ke dalam 'kelas kapitalis transnasional' dan tidak lagi 'kelas kapitalis nasional atau lokal'. Lihat Leslie Sklair, "Transnational Practice and the Analysis of the Global System", disampaikan pada seminar untuk Transnational Communities Program Seminar Series, 22 Mei 1998, hlm.4
 
[3]. Di sini kebijakan 'transnasional', menurut penulis dengan merujuk kepada karakteristik 'transnasional' menurut Sklair, adalah kebijakan yang berorientasi global dan bukan lokal atau domestik. Kebijakan-kebijakan seperti mempromosikan pergerakan bebas dari modal, menciptakan dan memelihara pasar global, dsb., menurut penulis adalah sebuah kebijakan yang berorientasi global. Bahkan mengurung tenaga kerja di dalam batas-batas negara, agar bisa didisiplinkan oleh negara, menurut Robinson adalah kebijakan 'transnasional,' karena kebijakan itu berperan sebagai mekanisme pembagian persediaan tenaga kerja untuk berbagai wilayah negara di dunia, yang berarti juga melayani kepentingan dari kelas kapitalis global. Lihat William I. Robinson, "Capitalist Globalization and the Transnationalization of the State," makalah untuk presentasi di Transatlantic Workshop, "Historical Materialism and Globalization", University of Warwick, 15-17 April, 1998, diambil dari internet, http://webdev.maxwell.syr.edu/merupert/Research/HM%20workshop/
Robinson.htm.
 
[4]. Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies, yang menjadi lampiran dari Letter of Intent Indonesia-IMF tanggal 7 September, 2000, memang menyebutkan penghilangan dan pengurangan subsidi sebagai salah satu program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Lihat Memorandum of Economic and Financial Policies, lampiran pada Letter of Intent Indonesia-IMF tanggal   7   September,   2000,  diambil  dari internet http://www.imf.org
/external/np/loi/2000/idn/04/index.htm.
 
Daftar Pustaka
Dillon, H.S. "Beras dan 'Ancient Regime.' Tempo, 27 Maret-2 April 2000, hlm. 43.
Gamma, No. 18 Tahun III, 20-26 Juni, 2001.
Kompas, 16 Juni 2001.
Marx,  Karl  dan  Friedrich  Engels. Manifesto of the Communist Party, diterjemahkan
oleh Samuel Moore. Chicago: William Benton, 1952, hlm. 415-434.
Memorandum  of  Economic  and  Financial  Policies,  lampiran  pada Letter of Intent
Indonesia-IMF tanggal 7 September, 2000, diambil dari internet http://www.imf.org/
external/np/loi/2000/idn/04/index.htm.
Panji Masyarakat, No. 49 Tahun III, 29 Maret 2000.
Robinson,  William  I.  "Capitalist  Globalization  and  the  Transnationalization of the
State." Makalah untuk dipresentasikan pada Transatlantic Workshop, "Historical Materialism and Globalization", University of Warwick, 15-17 April,  1998.  Diambil  dari  internet, http://webdev.maxwell.syr.edu/merupert/Research/HM%20workshop/Robinson.htm.
Simon,  Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: INSIST bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, 1999.
Sklair,  Leslie.  "Competing  Conceptions  of Globalization." Journal of World-System
Research, V, 2, Musim Semi 1999, hlm. 143-163. Diambil dari internet http://csf.colorado.edu/jwsr.
_______.   "Transnational   Practices   and   the   Analysis   of   the   Global   System."
Disampaikan pada seminar untuk Transnational Communities Programme Seminar Series, 22 Mei 1998.
Suara Merdeka, 19 Mei 2001.
Tempo, 27 Maret-2 April 2000.
Wood,  Ellen  Meiksins. "Unhappy Families: Global Capitalism in a World of Nation-
States." Monthly Review, vol. 51, no. 3, Juli-Agustus 1999. Diambil dari internet, http://www.monthlyreview.org/799wood.htm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar