Senin, 21 November 2011

Materialisasi Ibadah : Pudarnya Pemahaman Eksisitensi dan Esensi




Agama Islam adalah nasiahat bagi pemeluknya. Nasihat agar meyakini eksistensi mutlak  Allah SWT, Kenabian, amal shaleh, dan kehidupan pacsa kematian. Karena sebagai nasihat maka  Islam  pasti memerintahkan dan mengajarkan kebaikan yang tidak hanya eksis pada dirinya tapi juga tertransformasi atau berimplikasi terhadap eksistensi  kemaslahatan di luar diri. Seseorang disebut muslim adalah ketika seseorang dengan ucapan, wacana, sikap dan tindakannya mampu menciptakan keselamatan bagi orang atau komunitas  muslim lain yang ada (Al-muslim man salim al-muslimun min lisanih wa yadih ) namun perlu juga diingat bahwa berdasarkan hadits lain bukan hanya komunitas muslim saja yang harus merasakan kemaslahatan keberadaan seorang atau komunitas muslim tetapi juga komunitas dari penganut agama lain yang   tunduk dan mau berdamai dengan komunitas muslim (dzimmi). Sehingga ketika keberadaan seorang muslim tidak mampu menciptakan kemaslahatan sedikitpun tentu dapat kita ukur seberapa besar kadar keislamannya. Dengan ukuran itu lagi-lagi saya ingin berucap bahwa jika pada satu komunitas muslim masih belum tercipta kemaslahatan maka pasti ada yang salah dengan komunitas muslim itu.
Saya meyakini semua ritual dan apalagi ibadah yang berdimensi publik pasti berimplikasi positif (li maslahah al-ummah) bagi kehidupan. Sehingga jika ritual atau ibadah dimensi publik tidak ada efek positifnya bagi kehidupan  maka pasti ada yang salah di dalam pelaksanaanya. Termasuk dalam kategori ini adalah bisa jadi kesalahan itu ada pada niat (motivation) atau pada teknis pelaksanaan. Niat atau motivasi ibadah lebih memiliki pengaruh yang signifikan daripada teknis pelaksanaan ibadah karena teknisnya hanya merupakan menifestasi dari  niat atau semangat batin yang ada pada diri seseorang.
  Motivasi ibadah yang salah atau bisa disebut disorientasi motivasi  merupakan cerminan dari ketiadaaan kesadaran akan eksistensi diri. Diri seperti ini adalah diri yang dalam terminology sufi sebagai diri yang belum faham  terhadap realitas dirinya (‘arafa nafsah).  Padahal kesadaran akan realitas diri  menjadi modal pengembaraan  menuju eksistensi mutlak Allah SWT. (‘arafa rabbah ). Karena hanya diri yang mengenal Tuhan-lah diri yang memiliki motivasi hidup yang benar.
Motivasi hidup yang harus dibangun sesuai dengan tuntunan Islam adalah motivasi untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkan orang lain. Memaslahatkan diri dan maslahatkan orang lain adalah tujuan pelaksanaan ibadah. Kedatangan nabi Muhammad SAW yang juga membawa ajaran Islam adalah untuk kebaikan, keteraturan, dan keharmonisan alam (rahmah li al-alamin) maka ajaran di dalamnya  pun pasti membawa kebaikan.
Pelaksanaan ritual shalat pasti membawa maslahat. Yaitu shalat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar (tanha ‘an al-fakhsya wa al-munkar). Shalat yang tidak dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar (tercela, nista, biadab, arogan, dan menimbulkan kemadaratan) dianggap sebagai shalat yang gagal secara sosial yang padahal bisa jadi syarat dan rukunnya lengkap. Shaum yang juga dikatakan gagal adalah shaum yang hanya menahan lapar dan dahaga saja tapi tetap tidak bisa membangkitkan solidaritas sosial. Haji yang dianggap gagal adalah haji yang tidak membangkitkan kepekaan sosial. Demikian juga dengan ibadah-badah lainnya.
 Kita mesti bertanya ada apa dengan shalat, puasa, haji, dan amalan lain kita? Mengapa shalat, puasa, dan haji kita tidak bisa memberantas korupsi, mengikis individualisme, arogansi, dan kejahatan lain. Kita sadar bahwa rasa lapar yang kita alami ketika shaum cukup membuat kita kepayahan. Tapi disaat yang bersamaan pula kita lupa bahwa betapa banyak  yang merasakan kepayahan karena lapar setiap hari, bukan karena puasa tapi karena kemiskinan. Jemaah Haji kita tiap tahun selalu di atas dua ratus ribu tapi hapir setiap hari pula kita mendengar ribuan anak putus sekolah dan seabreg problem pendidikan. Jemaah haji Indonesia yang berangkat haji kebanyakan pasti bukan orang yang berpenghasilan lima ratus ribu sebulan tapi penghasilannya pasti lebih dari cukup, pasti orang kaya. Tapi apakah pak haji tidak baca koran sehingga tidak tahu berita kemiskinan, anak putus sekolah, dan seabreg problem pendidikan? Apakah pak haji menanggap bahwa dengan haji semuanya sudah selesai, sudah final, sudah lengkap.
Motivasi ibadah kita masih dilihat dalam kerangka material juga memisahkan antara efek formal (outward) dan efek batin (inward). Shalat, puasa, haji, dan amalan lain kita masih dilihat dari aspek syarat dan rukunnya saja, kita masih berfikir bahwa tujuan ibadah kita hanya melaksanakan ibadah sesuai syarat dan rukunnya saja sehingga ketika dalam pandangan kita sebuah ibadah sudah lengkap sayarat dan rukunnya kita menganggap sudah lengkap ibadah kita. Mungkin sedikit di antara kita yang berfikir efek apa yang telah timbul dari shalat, puasa, haji, dan ibadah lain kita. Belum lagi kekakuan dalam memandang aksesoris kesalehan masih diukur oleh baju koko, sorban, sajadah, peci, tasbih (alat penghitung bilangan dzikir), dan aksesoris lainnya. Sehingga semakin  sering aksesoris  dipakai dianggap semakin shaleh. Padahal esensi semangat dan  nilai keislaman tidak terpisahkan oleh aksesoris-aksesoris tadi tapi terhujam dalam batin dan terejawantahkan dalam sikap, perialaku, dan tindakan yang menaburkan kesalehan individual dan sosial.
Demikian halnya ketika kita membangun mesjid, madrasah, dan pondok pesantren masih dalam kerangka material. Kita masih berfikir dengan membangun masjid kita sudah berbuat segalanya sehingga semakin megah masjid semakin besar pula pahalanya. Kita masih mengukur kesalehan dengan jumlah masjid, madrasah, dan pondok pesantren. Sehingga kita merasa tenang ketika masjid, madrasah, pondok pesantren sudah banyak, padahal ada yang lebih penting diperhatikan adalah optimalisai dari lembaga-lembaga tadi dan relevansinya bagi perubahan sosial ke arah lebih baik. Kita masih belum jujur untuk melakukan evaluasi dan menganalisa seberapa besar manfaat yang dihasilkan dari mesjid yang kita bangun berpuluh, beratus juta atau bermilyar-milyar rupiah. Apakah betul semakin banyak jumlah mesjid semakin banyak pula orang yang shaleh? Bukan saya melarang pembangunan mesjid tapi perlu dipertegas kembali optimalisasi peran dan fungsi mesjid yang dibangun. Jangan sampai kita semangat memperbanyak jumlah mesjid hanya untuk menampakan kemampuan ekonomi karena di tempat lain di sebelah kita mesjidnya megah dan karena kita ingin dinilai dan dipuji sebagai masyarakat agamis.
Ukuran kesalehan secara materil ini harus disempurnakan dengan kita lebih banyak memanfaatkan  sarana tadi untuk mentransformasikan semangat dan keislaman yang tidak disekat mesjid, madrasah, pondok pesantren atau lembaga formal lain. Bukan pula semangat dan nilai keislaman yang dianggap hanya ada di mesjid, di madrasah, dan pondok pesantren.
Kita juga harus jujur menilai dan mengevaluasi eksistensi pondok pesantren kita, kita harus menilai dan biarkan orang lain juga menilai. Sejauh mana kesalehan individual dan kesalehan sosial telah terbangun. Itu adalah pertanyaan yang harus terus dipertanyakan pada setiap evaluasi aktivitas pesantren. Alih-alih  menimbulkan kesalehan malah sebaliknya berimplikasi pada hedonisme dan degradasi nilai.
Ketika kita sudah menyadari bahwa tugas kita adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya (imtisal al-awamir wa ijtinab al-nawah) maka konsekuensinya adalah perlunya kesadaran untuk tidak memisahkan efek ibadah secara formal (inward) maupun batin (outward). Demikian pula ketika kita membangun motivasi ibadah dalam kehidupan sehari-hari bisa memadukan antara semangat beribadah untuk dekat dengan Allah tetapi juga semangat untuk dekat dan melebur dengan nilai-nilai kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar