Jumat, 09 Desember 2011

Mengembalikan Keikhlasan Kita




Dikisahkan bahwa di antara Bani Israil, ada seorang laki-laki yang ahli ibadah. Ia beribadah kepada Allah dalam masa yang lama. Kemudian datang orang-orang kepadanya. Mereka berkata,”Di sini ada suatu kaum yang menyembah pohon, bukannya kepada Allah SWT.” Maka ia marah mendengar itu. Kemudian ia mengambil kapak menyandangnya di atas pundaknya, dan menuju pohon itu untuk menebangnya. Kemudian iblis menyambutnya dalam bentuk seorang tua. Ia berkata,”Hendak kemana engkau?” Orang alim menjawab, “Aku hendak menebang pohon ini”. Iblis berkata, “Ada perlu apa engkau engkau dengan pohon itu?” Engkau tinggalkan ibadah dan kesibukanmu dengan dirimu dan memusatkan diri bukan untuk selain itu.” Orang alim berkata,”Sesungguhnya ini termasuk ibadahku.”
Iblis berkata, “ Aku tidak membiarkanmu untuk menebangnya “. Maka orang alim itu berkelahi dengan iblis dan membantingnya serta menduduki dadanya. Maka iblis berkata, “Lepaskan aku supaya aku bicara denganmu “.
            Orang alim itu berdiri meninggalkannya dan berkatalah iblis kepadanya, “ Hai orang ini, sesungguhnya Allah ta’ala telah menggugurkan kewajiban ini darimu dan tidak mewajibkannya atas dirimu. Engkau tidak menyembahnya, Allah ta’ala mempunyai Nabi-nabi di bumi. Andai kata Allah menghendaki, niscaya dia mengutus mereka kepada penduduk bumi dan menyuruh menebangnya “.
            Orang alim itu berkata, “ Pohon itu harus ditebang “, Iblis itu menyerangnya dan orang alim itu mengalahkannya dan membantingnya serta menduduki dadanya.
            Maka iblis tidak berkutik, kemudian iblis berkata kepadanya, “ Maukah engkau mendapatkan sesuatu yang memutuskan antara aku dan kamu, sedangkan ia lebih baik dan lebih berguna bagimu “. Orang alim itu menjawab,” apakah itu ?, Iblis menjawab, “ lepaskan aku supaya aku katakan kepadamu,” Maka orang alim itu melepaskannya.
            Iblis berkata, “ Engkau seorang laki-laki miskin yang tak punya apa-apa, engkau meminta-minta kepada orang yang memberimu nafkah, barang kali engkau ingin memberi saudara-saudaramu dan membantu para tetanggamu serta menjadi kenyang dan tidak membutuhkan orang-orang “.
            Orang alim menjawab, “ ya “. Iblis berkata, “Tinggalkan urusan ini dan aku akan meletakan didekat kepalamu setiap malam dua dinar, setiap pagi engkau mengambilnya, lalu engkau beri nafkah bagi diri dan anak-anakmu serta engkau berikan sedekah bagi saudara-saudaramu, hal itu lebih berguna bagimu dan kaum muslimin dari pada menebang pohon ini, yang tertanam ditempatnya dan tidak membahayakan mereka bila ia tebang.
            Penebang pohon ini tidak berguna bagi saudara-saudaramu orang muslimin. “Orang alim itu merenungkan perkataannya dan berkata, benarlah orang tua itu, aku bukanlah seorang Nabi yang wajib menebang pohon ini, dan Allah Ta’ala tidak menyuruhku untuk menebangnya sehingga aku tidak mendurhakainya jika meninggalkannya. Apa yang disebutnya itu lebih banyak manfaatnya “.
             Kemudian orang alim itu memintanya berjanji untuk menepati imbalan itu dan bersumpah, kemudian orang alim itu kembali ketempat ibadah. Keesokan paginya orang alim itu melihat dua dinar di dekat kepalanya, maka iapun mengambilnya, begitu pula esoknya. Kemudian diwaktu pagi hari ketiga tidak ada lagi uang itu didekat kepalanya, demikian pula di hari berikutnya ia tidak mendapatkan apa-apa, maka iapun marah lalu mengambil kampaknya dan menyandangnya di atas pundaknya.
            Kemudian iblis menyambutnya dalam bentuk orang tua, iblis berkata,” Hendak kemana engkau “?, Orang alim itu menjawab, “ Aku akan menebang pohon itu “. Iblis berkata , engkau berdusta, demi Allah, engkau tidak mampu melakukannya dan tidak ada jalan bagimu kepadanya”. Maka orang alim itu berusaha menebangnya untuk membantingnya seperti yang dilakukan pertama kali. Iblis berkata, “ Mustahil,” Kemudian iblis memegang dan membantingnya, ternyata orang alim itu seperti burung pipit di antara kedua kakinya dan iblis duduk diatas dadanya seraya berkata,” Berhentilah engkau dari perbuatan ini atau aku akan membunuhmu”.
            Orang alim itu memandang, ternyata ia tidak punya tenaga, ia berkata,” Hai orang ini,. Engkau telah mengalahkan aku, biarkan aku dan beritahulah aku bagaimana aku mengalahkanmu pertama kalinya dan engkau dapat mengalahkan aku sekarang “
            Maka iblis menjawab,” Karena pertama kalinya engkau marah karena Allah Ta’ala dan niatmu adalah akhirat, maka Allah Ta’ala menundukan aku bagimu. Kali ini engkau marah karena dirimu dan dunia, maka aku berhasil membantingmu “.
            Cerita di atas dinukil dari bab ikhlas dalam Ringkasan “Ihya Ulumudin” membereikan pelajaran bagi kita bahwa keikhlasan adalah modal utama dalam menjalani kehidupan ini. Realitas hari banyak orang yang menjalani profesinya dimulai dengan iklash, dengan motivasi hanya mengharap ridla Allah SWT. Tetapi di tengah-tengah perjalanan godaan syetan datang. Maka mereka tak sanggup lagi mempertahankan keikhlasannya. Oleh karena itu tak jarang orang yang alim, bergelar akademik tinggi, menjadi panutan masyarakat, memiliki semangat memberantas segala bentuk penyakit negara seperti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, tetapi akhirnya mereka terjerumus kedunia nista tersebut. Mereka lupa akan posisi dan misinya. Sehingga bukanlah kemanfaatan bagi dirinya sendiri, masyarakat, apalagi untuk bangsa dan negaranya. Legislatif memeras eksekutif ketika akan laporan pertanggungjawaban, mereka katakan sebagai konsekuensi. Eksekutif membuat mark up terhadap proyek di anggap hal biasa. Dosen menjual nilai kepada mahasiswa, mahasiswa ujian dengan mencontek, pedagang yang mengurangi timbangannya, masyarakat yang main hakim sendiri, merupakan fenomena yang kita saksikan sekarang.
            Oleh karena itu Ramadhan, yang berasal dari kata “ramadhz” yang artinya adalah membakar, puasa memiliki makna agar kita membakar seluruh sifat-sifat hayawaniyah dan syaithaniyah dengan mengembalikan sifat-sifat yang iklash. Dalam  firman Allah Ta’ala,” Kecuali hamba-Mu yang Mukhlis diantara mereka,”.(Q.S. Al- Hijr : 40 ). Adalah Ma’ruf memukul dirinya seraya berkata,” Hai nafsu, ikhlaslah supaya engkau selamat “. 
Mengembalikan “ikhlash”  berarti mengembalikan sifat-sifat Tuhan dalam diri kita. Sebab manusia adalah representasi Tuhan di dunia ini yang memiliki tugas khilafah untuk menciptakan keteraturan di dunia dan mempunyai tugas ibadah untuk mengabdi hanya kepada-Nya. Sehingga tujuan puasa membentuk manusia muttaqin dapat kita raih (QS:2: 183). Kita tidak akan memiliki nasib seperti seorang Bani Israil yang bertekuk lutut di hadapan syetan tetapi kita akan masuk kelompok orang sebagaimana dijanjikan Allah SWT dalam hadits Nabi,”Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan yang penuh, maka Allah akan mengempuni seluruh dosa-dosanya yang terdahulu”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar